Manita

Jejak air di tanah merah ini begitu merona. Tak ada rerumputan. Air begitu cepat bersembunyi di balik tanah merah. Hanya bekas remahannya yang tersisa, menandakan ia pernah ada disini. Aku perhatikan bekas kakiku di tanah ini. Menjadikan tanah tak merata. Ada beberapa separuh lubang oleh jemari kakiku barusan. Tidak hanya satu jejak, ada banyak yang berjejer di belakang. Menguntitku. Setiap aku berbalik, selalu bersembunyi. Tidak mau menampakkan wujudnya. Jangan-jangan mau membunuhku. Dengan membuat jejak kaki di belakangku. Ia mengikutiku kemana saja. Langkah semakin aku percepat. Bahkan aku berlari dengan peluh di sekujur tubuh. Kadang aku berbalik, jejak itu masih mengikuti. Aku semakin kencang berlari, sampai-sampai kakiku tidak menginjak tanah lagi. Aku berbalik lagi, jejak itu tidak ada.

Halte ini begitu sepi. Dingin masih merasuk pagi ini. Ada remahan air hujan semalam yang jatuh menetes di atap halte. Jatuh dan serpihan airnya berpencar begitu menyentuh tanah. Aku menengadahkan tanganku ke tetesan itu. Berharap menyentuh telapak tanganku juga. Ternyata sebuah telapak tangan lain tepat berada di samping telapak tanganku. Perlahan aku perhatikan telapak tangan itu, begitu besar dan kasar. Urat nadi begitu jelas terlihat. Ada bekas luka di tangan itu. bekas luka yang mongering. Saat aku perhatikan wajahnya, tidak seperti tangannya. Wajah yang begitu indah dengan sepasang mata yang bening. Begitu banyak kehidupan yang terlihat disana. Bibir tipisnya yang memerah seperti kelopak mawar, tersenyum tipis. Ia membiarkan rambutya diurai oleh dinginnya pagi.

Aku dikagetkan oleh suara bus di depan halte. Ternyata begitu lama aku memperhatikan sosok yang ada di sampingku ini. Saat ia bergegas naik ke bus, aku juga melakukan hal yang sama. Mencari tempat duduk yang kosong. Bahkan perempuan yang tadi bersamaku di halte kini duduk di depan kursiku. Tetapi, aku tidak terlalu memperhatikannya lagi.

Bus berhenti di halte berikutnya. Beberapa penumpang naik. Saat pikiranku pada jejak kaki tadi pagi, aku dikagetkan dengan sentuhan di pundakku. Begitu membuat darahku berdesir hebat.

“manita?”

Aku berbalik kearah suara itu. memperhatikan wajahnya yang tirus. Pasi. Seperti melihat pudarnya warna kemeja yang aku kenakan sekarang ini. Aku masih sulit mengenali perempuan yang berdiri di belakangku ini. Mencoba menggali kembali sisa-sisa masa silam.

“Manita, kan?”

Aku mencoba mengingat. Saat melihat goresan luka di dahinya, mengingatkanku pada seorang teman waktu sekolah dulu. Seorang teman yang memanjat pagar sekolah untuk membolos. Saat melompat dari pagar, tidak memperhatikan ranting kayu yang menghalau pagar. Sehingga mengenai dahinya. Meninggalkan bekas goresan.

“Riani? hei…”. Jawabku

Riani adalah teman sekolah waktu SMA dulu. Sekian lama baru kami dipertemukan. Sekarang ia berada di depanku.

“boleh aku duduk di sampingmu?”
“oh iya. Silahkan.”

aku menggeser tempat dudukku. Riani duduk di sampingku. Wajahnya begitu sumringah pagi ini. Walau aku tahu itu hanyalah kepura-puraannya saja. Wajahnya tidak bisa menyembunyikan jiwa kehidupannya di dalam hatinya. Lagipula tak ada rona merah di bibirnya pagi ini. Rambutnya pun dibiarkan begitu saja. Menggantung membisu di kepalanya.

“sudah lama kita tidak bertemu Manita.”
“iya. Kamu kemana saja? Apa kamu sekarang sudah kerja?”
“kamu tidak tahu yah?”
“tahu apa?”
“aku pernah di penjara. Baru tiga bulan yang lalu aku bebas.”
“apa? Di penjara?”
“iya!”
“apa yang kamu sudah lakukan sehingga bisa di penjara begitu?”

Perlahan Riani berbisik kepadaku.

“aku memperkosa!”

Keringat dingin mengucur begitu saja di dahiku. Aku menjadi gelisah begitu mendengar perkataan Riani. Sudah tiga tahun kami tidak bertemu. Tidak banyak kenangan yang bisa aku ingat tentangnya.

“bukan hanya itu”. tambahnya lagi
“apa?”
“aku juga pernah menjual suamiku sendiri.”
“apa? Menjual suami kamu?”
“iya. Aku butuh duit untuk keluargaku. Lagipula aku tidak punya pekerjaan tetap.”
“apa kamu sudah punya anak?”
“anakku sudah aku jual.’
“hah, kamu jual anak kamu?”
“iya. Kehidupan serba susah begini apapun bisa. Lagipula, aku bosan melihat suamiku yang kerjanya hanya melahirkan anak terus. Banyak anak susah ngurusnya. Jadi mending aku jual saja pada pasangan yang tidak punya anak.”
“suami kamu mana?”
“di rumah. Tadi waktu aku tinggalkan dia lagi beres-beres rumah.”
“dia tidak kerja?”
“buat apa! Lebih baik ia di rumah saja. Ngatur ini dan itu. tidak baik ia keluar rumah, nanti malah keluyuran lagi di jalan.”
“oh iya, mengenai kamu di penjara…”
“oh itu, aku memperkosa anak tetangga. Soalnya lelaki itu begitu indah parasnya. Bibir tipisnya begitu menggoda. Tiap hari lewat di depan rumah. Kulitnya, halus banget. Beda dengan suamiku yang kulitnya begitu kasar dan hitam. Aku selalu membayangkan membelai kulit lelaki itu. jadi, saat ada kesempatan aku menariknya dengan paksa masuk ke dalam rumah.”

Riani begitu bangga menceritakan pengalaman hidupnya di depanku. Semakin kata itu masuk ke telingaku, semakin membuatku gelisah. Seolah-olah tak ada dosa di wajahnya. Bukan hanya itu, ia rela menjual anak-anaknya hanya karena butuh uang. Sedangkan suaminya ia tinggalkan di rumah.

“Riani, sebenarnya apa pekerjaanmu?”

Raut wajahnya yang tadinya ceria berubah kelam. Mengingatkanku pada langit cerah yang tiba-tiba berubah jadi mendung. Ia menatapku begitu tajam. Seolah menelanjangi tubuhku. Ia pun meremas tanganku begitu kuat lalu mendekatkan mulutnya ke telingaku. Ia pun berbisik. Perlahan. Seperti memasukkan jarum ke dalam telingaku.

“aku bisa bekerja apa saja. Memeras orang, membunuh, menjual anak, memperkosa, pengedar, menipu. Apa saja!”

Gemetar bibirnya membuatku tambah gelisah. Sekali ia menjilati daun telingaku lalu tersenyum. Setelah itu kembali ke posisinya seperti awal. Seolah-olah ia tidak melakukan apa-apa. Perlahan melepas tangannya. Aku sedikit tenang. Saat aku menghela nafas begitu kuat. Ia pun menghadapkan wajahnya tepat di depan wajahku. Membuatku sulit bernafas.

“Manita. Tenanglah, aku tidak akan melakukan apapun kepadamu. Jadi, kamu jangan khawatir. Bukankah kita adalah teman.”

Riani tertawa. Air liurnya menetes dari sudut-sudut bibirnya. Tawanya begitu keras. Membuat semua penumpang kaget dan berbalik kearah kami. Kecuali perempuan yang bersamaku di halte tadi. Aku semakin salah tingkah. Gugup. Kembali gelisah. Riani begitu lepas tawanya. Seolah ia adalah perempuan yang sangat bahagia di dunia ini. Sedangkan aku begitu ketakutan duduk di sampingnya.

Bus berhenti. Penumpang satu per satu turun. Aku pun demikian. Riani masih duduk di kursinya. Saat aku berdiri meninggalkan tempat duduk, Riani meraba pinggulku. Aku menepisnya lalu buru-buru turun dari bus itu. Perasaanku begitu lega. Seperti lepas dari cengkeraman maut. Aku tidak mau menemui Riani lagi. Tatapan matanya begitu menakutkan.

Aku berjalan menuju rumah pamanku. Mencoba bersenandung kecil melupakan kejadian barusan. Aku melewati beberapa gang sempit. Beberapa anak kecil yang bermain kelereng. Begitu renyah tawa mereka mengalahkan lawannya. Namun, di tengah perjalanan, seperti ada yang mengikutiku. Namun, setiap berbalik, aku tidak melihat siapa-siapa. Aku tetap melanjutkan perjalananku. Semakin mempercepat langkah. Jangan-jangan Riani yang mengikutiku. Peluh di dahiku begitu menderas. Sekarang aku berlari. Batu kerikil mengenai kakiku tidak aku pedulikan. Saat berbalik, aku tidak melihat siapa-siapa. Saat berbelok di sebuah gang, aku terjatuh. Menabrak seseorang. Ternyata perempuan yang di halte tadi. Ia menarik bajuku hingga sobek. Matanya menelanjangiku seketika. Aku bergegas berdiri. Berlari sekuat tenaga. Perempuan itu juga berlari. Mengejarku.

Aku berteriak minta tolong. Kakiku semakin lelah berlari. Teriakanku tak henti-hentinya berbicara. Kakiku tersandung. Membuatnya lecet. Tapi aku tetap berlari. Berteriak minta tolong. Aku melihat beberapa perempuan di sebuah sumur. Aku berlari kesana dengan nafas yang masih tersisa. Berharap mereka mau menolongku.

“tolong aku. Seorang perempuan dari tadi mengikutiku. Ia ingin memperkosaku.”

Reaksi para perempuan yang di sumur itu hanya diam sesaat melihatku. Baru aku sadar, para perempuan itu sedang mandi, mencuci. Bahkan ada yang sementara menanggalkan seluruh pakaiannya. Semua mata tertuju padaku. Memperhatikan dari kepala hingga kaki. Senyum mereka pun pecah. Sorotan mata mereka membuat kakiku diam gemetaran. Tak melangkah. Perlahan, air liur mereka menetes dari sudut bibir yang merekah senyum. Tangannya meremas udara. Kakinya bergerak-gerak. Seolah-olah mengambil ancang-ancang untuk menerkamku. Melumatku hingga tak tersisa. Menjilati darahku hingga lidah mereka beranak.

Lalu, seorang diantaranya berbicara kepada yang lainnya.

“ada lelaki……”.

Mereka pun menelanjangiku dari peradaban. Perlahan. Bukan hanya itu, satu per satu bagian tubuhku yang melekat ditanggalkannya pula. Mereka menikmatinya dengan birahi yang tak terbatas. Sedangkan aku tenggelam dalam pusara jiwaku sendiri.


Makassar, 27 Juli 2010


Ernawati Rasyid

Komentar