Kirana

Aroma secangkir teh pagi ini sungguh membuatku segar. Aku siap menghadapi hari ini. Kubuka jendela, kutatap rona pagi, kepak daun jambu yang sesekali dihantam angin meramaikan suasana, lalu kuminum teh itu seteguk, seteguk saja, alhamdulillah, terima kasih tuhan, tanpa kuasamu aku takkan bisa merasakan semua ini..
“Abdi, sudah setengah tujuh, bukakan warung!”
“Sebentar sajalah mak, aku sedang menikmati hidup nih!”
“Jangan ampe lupa !” tegas Emak.

Aktifitas rumah sudah di depan mata. Aku harus membantu Emakku. Maklumlah, ini hari minggu dan aku libur kuliah. Kegiatan kuliah memang membuatku kurang membantu orang tua di kesehariannya. Hampir setiap hari aku pergi pagi dan pulang malam. Tak sempat aku membantu pekerjaan Emakku yang sudah tua, meski sekedar mencuci baju sendiri ataupun mencuci piring.
Aku duduk menghadap ke luar jendela kamarku. Beberapa orang lewat di depan rumahku dengan wajah semberawut dan bau mulutnya menyengat. Kepala mereka ditutup dengan sarung. Mereka adalah para petugas ronda semalam. Mereka akan pulang ke rumah masing-masing dan meneruskan tidurnya.
“Lanjutkan!!”, seruku kepada mereka dengan wajah sedikit menertawakan.
“Woy, di, ikutan yuk!!”, ajak seseorang dari mereka.
“enggak ah, udah cukup tadi malem”,

-Sepuluh menit kemudian-

“Abdi, udah siang !”
“Ya mak”
Panggilan ke-dua telah datang. Lampu kuning menyala. Aku harus segera melepaskan lamunan pagi ini, kalau tidak, tentu aku akan dapat sarapan bawel khas Emak. Segera kubukakan warung selagi Emak menyapu. Selesai membuka warung, kurendam pakaian kotorku. Setelah itu aku merapikan seisi rumah sambil mengisi waktu sebelum mencuci pakaian.
Emak dan Bapakku adalah seorang penjahit. Selain menjahit, di rumahku pun dibuka warung kecil yang menjual barang kebutuhan rumah seperti sabun mandi, pasta gigi dan lainnya. Bila aku sedang tak kuliah dan libur menjadi mahasiswa, aku menjadi penjahit. Hari ini pun, setelah selesai mencuci dan mandi, aku harus membantu mereka menjahit, meski sekedar merombak celana ataupun memasang kancing baju.
Hari ini aku harus mengobras berbagai potongan kain yang akan dibuat baju. Kali ini adalah potongan pakaian seragam murid TK dekat rumahku. Emak sedang menjahit potongan kain yang lain, dan Bapak sedang memvermak jeans.
“Assalamu’alaikum”, sapa seorang tamu yang sepertinya akan membuat baju pada Emak.
“Wa’alaikum salam”, jawab kami.
“Ibu, apa kabar?”
“Baik, kemana aja si eneng?”
“Ada aja bu, ini bu Zahra mau bikin baju”
Aku terhenyak, mimpikah aku?, apakah benar ia datang!, Ah tak mungkin!!. Kukucek-kucek mataku, memastikan seseorang yang bertamu ke rumahku, ah, memang benar, sudah lama sekali aku tak bertemu dengannya, Zahra, kekasihku dulu. Aku tak pernah putus dengannya, tapi dia pergi meninggalkanku. Tiga tahun lalu ia pindah rumah tanpa mengabariku. Kabar angin tentangnya bahwa ia dijodohkan kepada anak juragan beras. Kini ia datang ke rumahku dengan menggendong seorang anak perempuan. Mungkin baru berusia dua tahun.
Untuk apa dia datang? Apakah benar dia hanya ingin membuat baju? Apa mungkin ia ingin bertemu denganku? Ataukah ia ingin menyiksaku dengan membentangkan semua kenanganku bersamanya dulu? atau mungkin ia ingin memberi tahu padaku bahwa ia telah mengambil keputusan tepat dengan menerima persuntingan anak juragan beras? Satu luka baru menggores hatiku yang sudah lama kelu.
Kutinggalkan pekerjaanku, lalu aku beranjak ke depan rumah, menunggu kesempatan bercakap dengannya untuk sekedar menanyakan kabar. Namun, bukan hanya kabar tentunya, karena aku lebih penasaran untuk menanyakan alasan ia mencampakanku, kemana ia pergi selama ini, dan mengapa ia tak pamit ketika mau pergi meninggalkanku. Aku ingin meminta alasan mengapa ia membiarkan cintaku mengambang terbawa arus tak tentu, terbang tak tahu arah, membiarkan cintaku kebingungan seperti anak ayam kehilangan induknya.
Gemuruh hatiku deras terdengar. Tak tahu apa yang kupikirkan. Terlalu banyak yang harus kupikirkan, telalu banyak yang harus kuingat hingga tak satu pun kuingat. Aku kosong.
Setelah sekitar lima menit berbincang dengan Emak, Zahra menghampiriku. Aku senyum padanya, dia membalas senyumku. Tapi, kali ini senyumnya tak seperti dulu. Bibirnya seakan terlalu berat untuk dinaikkan, membuat senyum itu tak selebar dulu. Dia duduk di sampingku. Kutatap wajahnya, masih manis. Memang ada sedikit kerutan di dahinya. Matanya terlihat agak sayu, mungkin karena beban hidup yang ditanggungnya selama ini. Diam-diam aku berharap dia letih karena menahan kerinduannya padaku selama ini. Samar terlihat mulutnya seperti mulai kembung dan mual karena ingin memuntahkan kata-kata yang ingin diucapkannya sejak lama.
“Bu, mimi... “, rengek anak yang sejak tadi ia gendong.
Hatiku bertambah remuk. Aku tahu kini, bahwa anak itu adalah anaknya. Aku mengambil air ke dapur sambil merenungi kenyataan bahwa Zahra kekasihku, kini sudah menjadi milik orang. Kuberikan air itu padanya, lalu ia meminumkan air itu pada anaknya.
“Maafkan aku, Di”, ucapnya.
Aku diam saja. Sejenak kulihat cara ia meminumkan air itu pada anaknya, manis sekali, sangat keibuan. Kupalingkan lagi pandangku pada orang-orang yang melintas di depan rumahku. Meski begitu, sebenarnya pandangan mataku jauh entah kemana. Aku kembali kosong.
“Aku tahu aku salah, aku tak bilang padamu kalau aku dilamar orang”, ucapnya lagi.
Aku menatapnya, tapi ia tak menatap ke arahku. Ia sibuk merayu anaknya yang sejak tadi merengek dan tak mau diam.
“Siapa nama anakmu?”, tanyaku mengalihkan pembicaran.
“Kirana, namanya Kirana. Nama yang kauimpikan dulu. Masih ingatkahkau?. Dulu kaubilang, kalau nanti aku punya anak perempuan, kauingin namanya Kirana”
“Tapi aku ingin anak itu adalah darah daging kau dan aku, bukan dengan orang lain” jawabku dengan nada agak kesal.
“Tapi tahukahkau, bahwa aku memberikan nama ini supaya aku bisa ingat padamu?, supaya aku bisa tetap sadar bahwa aku ini telah berbuat salah padamu?! Supaya dalam keadaan apapun dan bagaimanapun, aku tak melupakanmu. Meskipun tanpa nama itu sebenarnya aku tak bisa melupakanmu, tapi aku memang menginginkan nama itu, nama yang telah memberikanku sejuta keindahan”.
“Lalu kenapa dulu kau tak bilang kalau kau akan pergi?, kau membuatku cemas. Aku bukan hanya mempedulikan perasaanku, tapi aku pun mempedulikanmu, Za. Selama ini aku khawatir padamu, pada keadaanmu”
Zahra tertunduk diam.
“Kau tahu Za, aku mencarimu. Kutanya pada Ibumu, katanya kau pindah ke rumah pamanmu di Garut. Kuminta alamat pamanmu, tapi Ibumu tak memberikannya. Kutanya keberadaanmu pada teman-temanmu, tak satu pun tahu. Aku datang ke rumahmu, menanyakan keberadaanmu pada Ibumu sampai sembilan kali, tapi ia tetap menjawab seperti pertama kali aku mencarimu. Lalu diam-diam adikmu bilang padaku kalau aku tak perlu mencarimu. Dia bilang kau telah menikah. Aku diberikan alamat suamimu olehnya. Kudatangi alamat itu di pagi hari, dan yang kulihat, kau sedang bersenda gurau dengan lelaki sarjana ekonomi itu”
“Kapan kau datang ke rumahku Di?”
“Tak perlulah kau tahu, yang perlu kau tahu aku masih kecewa padamu karena kenyataan itu. Untuk apa dulu kau mau jadi pacarku kalau kau hanya memberikan harapan kosong!, lebih baik aku tak usah mengenalmu, Za”
Aku lepas kendali. Terlalu tinggi nada bicaraku. Zahra berlinangan air mata. Saat ini, di hadapanku, orang yang paling kucintai sejak SMA dulu, yang tak pernah satu kali pun aku bilang “tidak” padanya, menangis karenaku. Menangis karena aku membentaknya.
Aku diam menyesali perbuatanku. Sementara itu, Kirana tertegun menatap Ibunya berlinangan air mata. Lalu ia memeluk dan menyandarkan kepalanya pada Ibunya. Kirana terbawa haru. Sepertinya ia dapat merasakan apa yang dirasakan sang Ibu. Nampak sekali empati seorang anak berusia dua tahun itu pada Ibunya.
“Maafkan aku Za, aku emosi, aku lepas kendali”, kataku.
“Tak apa-apa, aku tahu perasaanmu, tapi aku pun tak menyangka kalau semuanya akan menjadi seperti sekarang ini”, jawabnya sesengukan.
Zahra meraih Kirana dan menggendongnya. Ia berjalan-jalan di pelataran rumah sambil menimang Kirana.
“Oya, kapan ulang tahun Kirana?”, tanyaku.
“Nanti, 30 Oktober”
Aku diam kehabisan kata-kata. Aku takut salah bicara. Aku tak ingin membuatnya sedih lagi. Kini aku benar-benar yakin, dia kemari bukan sekedar untuk membuat baju, tapi juga untuk meminta maaf padaku. Tak ada kebohongan dan tak bisa disembunyikan raut wajah itu, bahwa dia ingin meminta maaf padaku. Hal itu semakin terasa nyata setelah kulihat air matanya dan kutatap wajahnya. Sudah lama aku kenal dia. Tak mungkin aku salah menilai suasana hatinya. Semoga tak berkurang rasa cintanya.
“Tinggal dimana kau sekarang?”
“Masih alamat yang dulu, rumah suamiku”
Kalimat itu, wajah itu, tak salah lagi, adalah ratap sesal akan kesalahan yang dilakukannya pada waktu yang telah menjadi kenangan. Tadi aku terlalu emosi. Aku terlalu kasar padanya. Aku jadi semakin merasa bersalah. Jika memang dia tak berniat meminta maaf padaku, mana mungkin ia berkata setulus itu, mana mungkin ia mengeluarkan wajah itu.
“Bagaimana kuliahmu, Di? Kata teman-teman kau kuliah”, tanya Zahra sambil mengusap air matanya.
“Lancar”, jawabku tertunduk.
“Komputer?”
“Tadinya iya, tapi kini aku pindah ke sastra”
“Kenapa?”
“Entahlah, tapi aku kini lebih senang dengan sastra”.
“Mmmm, aku juga sekarang kuliah, Di”
“Oya!, bagus itu!”
“Iya, suamiku menyuruhku kuliah”
“Jurusan apa?”
“Pendidikan, FKIP Bahasa Indonesia”
“Jadi guru dong!”
“Iya”
Terlihat wajahnya sedikit berbinar dibandingkan tadi. Ia memandangku dan tersenyum satu detik, satu detik saja. Lalu ia memandang langit, tapi aku tahu, sebenarnya ia tak menperhatikan apapun di langit. Mungkin ia mengenang tentang masa lalu, tentang kisahku dengannya dulu, atau mungkin ia berkhayal tentang masa depan, tentang masa yang semua orang tak pernah tahu akan seperti apa jadinya.
“Kau masih ingat, Di?, kau pernah bilang bahwa tak ada satu orang pun yang mampu mengukur luas langit, tapi semua orang meyakini bahwa langit itu luas. Kau berjanji, meski tak satu orang pun tahu seberapa luas cintamu padaku, tapi suatu saat orang akan benar-benar meyakini bahwa cintamu padaku begitu luas, bahkan lebih luas dibandingkan langit”.
Aku tertegun mengingat ucapan itu. Tak kusangka ia masih mengingat kata demi kata itu. Itu adalah rayuan pertamaku padanya sejak aku menjadi kekasihnya. Itu adalah kata-kata rayuan yang pertama kali kuucapkan jujur dan sepenuh hati.
“Kau pun dulu bilang, kalau kau akan menyuapiku jika aku sakit, kau bersedia menggendongku ke kamar mandi jika aku sudah renta tak mampu berjalan. Bahwa, kau bersedia mengatakan betapa cantiknya aku, meski aku sudah keriput, dan jika aku meminta, kau bersedia tetap berada di sisiku, tak ke mana-mana, di sampingku, selama empat puluh tahun sekalipun. Masih ingat bukan!”
Aku kembali termenung mengingat malam rabu di depan rumah Zahra dulu. Pada malam itu, kukatakan rayuan itu padanya, teringat bagaimana dulu ia tertawa sambil memeluk pundakku. Manis sekali waktu itu.
“Meskipun akhir-akhir ini aku tahu bahwa kata-kata itu kau contek dari novel Andrea Hirata, aku tak peduli. Aku hanya peduli bahwa yang mengucapkan itu kamu. Aku tak peduli kau mencontek atau menjiplak, aku tak peduli kau tak kreatif, tapi aku melihat caramu berbicara, aku melihat matamu berbinar, sejak itu aku tahu kalau kau memang benar-benar mencintaiku”
Aku tersenyum. Malu, bangga, dan terharu. Tadinya aku takkan memberitahu hal itu sampai akhirnya dia benar-benar menjadi milikku.
“Masih ingatkah kau, Di, dulu kau bilang, kalau kau, dengan segenap hatimu, rela menceburkan diri ke samudera, siap mendaki puncak Jayawijaya, rela jadi hantu, asalkan aku bahagia!!” .
“Aku ingat. Aku pun pernah berjanji untuk menjadikanmu kekasih dalam setiap hariku, menjadikanmu wanita yang halal kupegang hingga akhir hayat. Aku yakin kau pun ingat itu”, Balasku. “Tapi aku gagal memenuhi janjiku itu”.
“Tak apa-apa. Semuanya salahku, lagipula, takdir memang berbicara lain. Sebenarnya aku tahu kau bisa memenuhi janji itu, jika saja takdir berkehendak sama dengan apa yang kita harapkan, atau paling tidak memberi kesempatan pada kita”, Balas Zahra.
“Abdi, Aku senang padamu. Bagiku janji-janji itu tak penting. Aku hanya mementingkanmu. Kau segalanya bagiku. Seperti halnya kau yang menghawatirkan keadaanku, aku juga menghawatirkan keadaanmu. Abdi, tahukah kau, bahwa, cinta itu dari hati. Kalau sudah cinta maka hati yang bicara, tak ada kebohongan dalam setiap kata-katanya. Aku mendengar setiap yang kau ucapkan dulu, yang terasa olehku, itu bukanlah dari bibirmu semata, tapi dari hatimu”.
Suasana seketika menjadi hampa. Jam berhenti berdetak, angin berhenti bergerak, dedaunan dan ranting berhenti menari, burung-burung berhenti bernyanyi dan enggan untuk terbang, anak ayam berhenti merengek pada ibunya, bahkan cacing berhenti menggeliat. Semuanya tertegun mendengar ucapan Zahra, meresapi kesungguhan cara bicaranya, mengagumi betapa tulus ia mengucapkan semua itu. Air mataku berlinang.
Perlahan dunia ini berubah. Tanah yang tadi kupijak mulai terlihat samar dan seketika hilang. Biru langit seketika pudar. Tak tahu aku tempat apa ini. tak ada ayam, tak ada burung, kucing atau hewan lain. Putih, semuanya putih. Tak ada apa-apa selain aku dan Zahra beserta Kirana di depanku. Tak ada suara apapun yang mengganggu tiga manusia yang terperangkap dalam pusara dan gejolak rasa yang benar-benar ambigu. Air mataku meleleh. Pipiku basah. Bibirku bergetar hebat. Tak kuasa aku menyesali betapa bodohnya aku termakan rayuan amarah dan nafsu. Aku luluh oleh ucapan wanita yang dulu pernah menyandarkan kepalanya di pundakku. Aku tahu dia mencintaiku, dan dia tahu aku mencintainya. Tapi cinta tak harus memiliki, karena hatilah yang bicara cinta, bukan mulut maupun raga lainnya. Cinta cukup memiliki rasa. Cinta adalah talian jiwa. Ikatan perasaan yang selalu ada tapi tak pernah nampak oleh mata atau apapun, kecuali oleh pencinta itu sendiri.
“Di, aku belum memberi tahu nama asli Kirana padamu bukan!!”.
“Ya, apa nama lengkapnya?”
“Zahra Kirana Abdi. Aku telah bercerita banyak tentangmu kepada suamiku, ia mengizinkan aku memberikan nama itu.”, jelas Zahra.
Zahra tersenyum. Air mataku semakin deras.



oleh
Abdee Nugraha

Komentar

  1. NO...koment...sungguh sadis dan tragis kisahnya...oke juga buat introspeksi...(maksoed loooh...) dua jempol aja deh...

    BalasHapus
  2. hmm seruuuu, tapi seandainya cinta abdi dan zahra endingnya jadi satu. hahahahhahahahaha

    BalasHapus
  3. mampir di blog yang penuh sastra...
    terasa ada kopi hangat di siang yg dingin di siniiih

    BalasHapus

Posting Komentar

Silakan berkomentar tentang kami sesuka anda. Kami terima apapun dari anda termasuk kepahitan kata-kata anda. terima kasih!