Lengkuas

Masih gelap, baru pukul lima pagi. Aku bangun dari tidurku yang melelahkan. Kubangunkan tubuhku bersama mata yang masih digelayuti rasa kantuk. Kutekan sakelar lampu kamar di dinding dekat pintu. Kubuka baju tidur dengan sedikit malas dan kulemparkan ke tempat tidur.

Kupegang gagang pintu kamar menggunakan tenaga seadanya. Karena aku masih belum sadarkan diri sepenuhnya. Kutekan kebawah untuk membuka pintu. Terasa sulit kubuka. Kucoba membukanya lagi dengan tenaga yang tersisa. Ternyata masih terasa sulit juga. Kuulangi ketiga kali dengan tenaga yang kutumpukkan, tetap belum bisa kubuka. Sampai tanganku terlepas dari genggaman karena tenagaku yang berlebihan sehingga membuat tubuhku terjatuh lemas. Dan itu membuatku tersadar ternyata pintu kamarku terkunci.

Aku bangun kembali dengan meraih gagang pintu yang kujadikan sebagai tumpuanku untuk berdiri. Aku kembali berdiri di depan pintu. Kuraih kunci yang biasa kugantungkan di lubangnya. Saat tangaku ingin meraih kunci, aku tidak mendapatkannya. Aku hanya meyentuh lubang kunci. Aku coba lagi, tapi tetap hanya lubang kunci yang kudapati.

Aku kira semalam adikku sengaja mengurungku di kamar dengan mengunci pintu kamarku dari luar. Dia memang jahil. Tak peduli siapa pun pasti dijahilinya.

Kupanggil ibuku supaya membukakan pintu kamarku. Tapi tidak ada jawaban dari ibuku. Kupanggil lagi ibuku, tetap tidak ada jawaban darinya.

Aku kesal dan terheran kemana semua orang. Kenapa rumahku sepi begini? Mungkin masih tertidur, pikirku. Kupanggil lagi ibuku tapi tetap tidak ada jawaban. Kupanggil ayahku, adikku, dan ibuku lagi. Semua sia-sia, tidak ada jawaban dari satu pun. Aku semakin kesal, kugedor pintu kamarku, terus kugedor. Bahkan sesekali kutendang karena kekesalanku yang semakin bertambah. Dan akhirnya ada jawaban dari ibuku.

“Kamu kenapa? Jangan begitu! Nanti pintunya rusak.” Teriak ibuku dengan nada marah.

“Tolong buka pintu kamarku, Bu! Kenapa aku dikurung begini?”

“Memang siapa yang mengurung kamu?”

“Aku tidak menginginkan pertanyaan dari Ibu. Yang aku mau Ibu membukakan pintu kamarku.”

“Iya, tunggu sebentar!”

Aku sedikit lega. Namun kekesalanku masih saja ada. Tapi kucoba untuk diam, menunggu ibuku membukakan pintu kamar. Bukan pintu yang terbuka, aku malah mendapatkan teriakan ibuku karena pintu kamarnya juga terkunci.

Spontan aku kaget. Aku berteriak lantang memanggil adikku. Ibuku juga marah dan menggedor pintu kamarnya. Aku dan ibuku terdiam ketika mendengar adikku memberitahukan bahwa kamarnya pun terkunci.

“Astagfirullah!” aku semakin terkaget. Tubuhku yang tadinya masih lemas, tiba-tiba berubah seperti atlit maraton yang siap berlari.

Kubuka gorden kamar yang berdekatan dengan pintu belakang rumah. Kulihat pintunya terbuka lebar.

“Ada maling…!” teriakku keras. Kubuka jendela kamar dan keluar melewatinya. Kumasuk ke rumah melalui pintu belakang.

“Sial! Motorku raib.” umpatku melihat garasi rumahku kosong.

Aku langsung berlari keluar tanpa alas kaki dan baju, aku hanya memakai kolor yang biasa kupakai untuk tidur. Aku tak menghiraukan ibu, ayah, dan adikku yang masih terkurung di kamarnya.

Aku lari ke ladang belakang rumah. Aku tak melihat apa-apa, karena memang masih gelap gulita. Memang rumahku berada di sebuah perkampungan yang masih banyak ladang yang terbentang luas. Antara rumah dengan rumah lainnya pun dipisahkan oleh kebun. Tak ada lampu penerangan jalan. Yang ada hanya lampu-lampu di halaman atau luar rumah penduduk.

Aku terus berlari menuju ladang pohon lengkuas yang membentang luas. Aku kira para pencuri itu bersembunyi di antara pohon-pohon lengkuas di ladang itu. Mudah-mudahan saja aku benar. Dan aku memberanikan diri untuk mencari mereka ke sana.

Untuk bisa sampai ke ladang tersebut aku harus melewati pesawahan yang cukup luas pula. Kulewati pematang sawah yang licin dan terjal.

Saat berlari di pematang sawah, aku terpeleset karena memang banyak lumpur membuat pematang sawah licin. Aku pun terjatuh ke sawah. Hampir tiga perempat bagian tubuhku penuh lumpur sawah. Badanku yang telanjang pun semakin kedinginan.

Aku terbangun dan melihat bambu yang cukup runcing, panjangnya kira-kira dua meter. Kuambil dengan maksud untuk kujadikan sebagai senjata kalau saja aku bertemu dengan pencuri itu.

Saat aku sampai di ladang lengkuas, aku berlari menelusuri ladang yang kira-kira luasnya 25 Ha. Aku masuk ke dalam gombolan pohon lengkuas yang tinggi menjulang melebihi tinggi tubuhku beberapa inci. Aku berjalan pelan menelusuri sela-sela pohon lengkuas. Kuterpa dinginnya embun yang menempel di daun lengkuas.

Jantungku berdetak kencang menahan amarah dan rasa takut kalau saja aku bertemu dengan pencuri itu. Jika bertemu dengan pencuri itu apakah aku harus melawan. Aku sedikit takut kalau saja mereka berkomplot, dan aku sendirian. Tapi amarahku lebih besar dari rasa takut. Aku sudah terlanjur murka, tak takut apa pun.

Kuteruskan pencarianku. Langkah demi langkah kuatur dengan tempo yang tetap. Aku sudah seperti tentara yang sedang berperang. Tubuhku penuh dengan lumpur. Rasa dingin tak kuhiraukan. Namun langkahku harus terhenti ketika kaki kiriku menginjak sesuatu yang lembek seperti lumpur. Aku mencium sesuatu yang baunya membuat aku mau muntah. Kulihat apa yang kuinjak. Meski masih samar, tapi aku bisa mamastikan dari baunya bahwa benda yang kuinjak adalah kotoran manusia.

Aku mengumpat menyebut berjenis nama binatang. Mulutku sudah seperti kebun binatang yang dipenuhi berjenis spesies jelek. Kemarahanku bertambah untuk kutujukan kepada orang yang membuang kotoran sembarangan sehingga kuinjak.

Kubersihkan kotoran itu dengan menggosokkannya ke tanah yang masih kering. Dan kusapukan dengan daun lengkuas yang basah oleh embun.

Kulanjutkan perjalananku menelusuri pohon lengkuas. Sampai akhirnya fajar menyambutku dengan sinarnya. Aku keluar dari gombolan pohon lengkuas dan duduk di pinggir jalan untuk kendaraan pengangkut lengkuas menuju ladang.

Kuletakkan bambu yang kubawa di sampingku. Aku duduk dengan kaki sedikit dilipat sehinggga lututku berada di depan dadaku. Aku letakkan telapak tanganku ke wajah. Kuusap seperti mencuci muka, tapi tanpa air. Kuambil nafas dalam dan menghelakannya.
Aku kecewa karena tidak bisa menemukan kembali sepeda motorku. Bukan hanya karena sepeda motor keluargaku satu-satunya, sepeda motor itu pun sangat berjasa bagi keluargaku. Mengantarkanku dan adikku ke sekolah, mengantarkan ibuku berdagang ke pasar, mengantarkan ayahku bekerja, dan untuk keperluan lainnya. Ribuan rasa kecewa menggulung perasaanku. Hatiku seperti dikuliti, diiris tipis oleh pencuri sialan itu.
Kupukul tanah tempatku duduk. Meluapkan kekecewaanku. Aku berdiri mengumpat keras dan menendang bambu yang tergeletak di sampingku.

“Bodoh!” tiba-tiba aku mendengar suara yang entah dari mana asalnya. Aku mencari asal suara itu. Namun tidak kutemukan seorang pun di sekitarku.

“Kau bodoh sekali. Apa kau tahu pencuri itu mencuri sepeda motormu kapan? Kau berlari seperti manusia bodoh. Mungkin saja mereka mencuri dari semalam. Kenapa kau mencari mereka sudah siang begini? Kenapa kau tidak menceritakannya pada Tuhanmu? Kau tau kebodohanmu itu membuat kau melupakan kewajiban kamu pada Tuhanmu? Kau melewatkan satu waktu untuk menghadap Tuhanmu. Harusnya kau pasrahkan semuanya pada Tuhanmu dan kau bersabar.

Kau tahu kebodohanmu yang lainnya? Kau melupakan keluargamu. Kau membiarkan mereka terkurung di dalam kamar.”

Aku tersadar kalau ibu, ayah, dan adikku masih terkurung di dalam kamarnya. Tanpa kuhiraukan siapa yang berbicara padaku, aku berlari pulang, takut kalau mereka belum bisa keluar dari kamarnya.



Gunungputri, 11 November 2008



oleh
wahyudimalamhari

Komentar

  1. Dalam kondisi panik, pikiran jernih dan hati yang tenang memang sangat dibutuhkan. Jangan biarkan amarah menguasai diri, dan bertawakal kepadaNya adalah salah satu jawabannya...:)

    BalasHapus

Posting Komentar

Silakan berkomentar tentang kami sesuka anda. Kami terima apapun dari anda termasuk kepahitan kata-kata anda. terima kasih!