Hujan Tapi Neraka

Sebuah perjalanan membawa sang raga menyentuh, masuk ke dalam lingkungan yang ramah indah nan hijau penuh pagar alami berdaun. Aku bersama ragaku mencoba menembus suasana keindahan alam semesta yang berada di tengah-tengah kota. Kulangkahkan dua belah kakiku yang penuh semangat dan gairah karena telah lama tak kutemukan kesejukan, keindahan, dan keriuhan suara binatang kecil yang menyengat telinga. Tapi aku tak peduli, walau menyengat telinga lama-lama menyentuh hati yang hidup dari kealamian bumi. Inilah yang kudambakan.

Kulihat di muka, sebuah pohon yang usianya melebihi usia kemerdekaan negara ini, masih kokoh berdiri menopang langit walau secara kasat mata terlihat tak menepi dilangit. Daun-daunnya masih segar melebar di antara ranting-ranting yang tumbuh di puncak pohon. Burung-burung menghinggapinya dengan penuh keseimbangan dan terlatih untuk hal yang dia lakukan semacam itu. Mulai dari dua ekor hingga sepuluh ekor berada di puncak pohon itu. Entah apa yang mereka bicarakan? Mungkin mereka sedang melihat dan membicarakan orang-orang yang berada di bawah tubuh mereka. Entah itu aku atau orang-orang di sekitarku, atau mungkin juga mereka sedang memantau laju angkutan kota yang terlihat seperti pasukan angkatan darat yang sedang berbaris. Seiring berhembus angin menggoyangkan ranting-ranting yang mereka hinggapi, mereka terbang dan berpisah mencari tempat untuk berdiam diri. Sementara itu satu ekor burung kulihat menghinggapi sebuah istana megah yang berada di tengah-tengah kebun yang luas penuh dengan pepohonan. Dia terlihat nyaman menghinggapi istana itu. Mungkin karena tak bergoyang ditiup angin.

Ku alihkan sejenak pandanganku ke sebuah danau, tepat berada di samping kanan sebuah istana penguasa negara ini. Airnya tenang tak ada perang tak ada kegaduhan hanya tanaman yang tumbuh di atas danau itu yang sesekali bergerak. Namun sayang airnya tak lagi memancarkan kejernihan. Airnya menjadi sedikit kelam bercampur lumpur yang mengendap di dasar danau. Walau begitu orang-orang tetap nyaman duduk di bangku yang terbuat dari besi yang mengitari setiap sudut danau. Kulihat mereka tetap asik memandang danau sembari berpegangan dan bercengkrama dengan pasangan masing-masing. Asik bermesraan di antara riuhnya suara binatang dan indahnya suasana hijau di tengah-tengah kota. Tapi aku malas melihatnya karena mataku terasa sakit jika melihat hal seperti itu. Lebih baik ku berlari mencari kesenyapan dan kesunyian dengan dikelilingi pohon-pohon yang menjulang serta beralaskan rumput gajah yang tertanam dengan sendirinya.

Ku berteriak ketika ku sengaja meletakan tubuhku diatas rumput dan memandang langit yang cerah

“hey…..hey….woooooooooooooiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii aku bebas, aku nyaman, aku tenang, aku berada di syurga duniaku.” Begitulah teriakku.

Sejenak dalam hatiku bercengkrama dengan semua yang ada di sekelilingku

“hey kau sang hijau jangan pernah kau mati tetaplah berdiri walau usia tak muda lagi. Jika ada yang memaksamu mati, timpahkanlah bagian rantingmu tepat di atas kepala mereka!

hey sang pemilik sayap rawatlah tempat singgahmu! Rawatlah dia, hempaskanlah sayapmu jika orang-orang mencoba merusak tempat singgahmu! Jangan pernah takut aku akan selalu menjagamu.”

Aku terbangun dari lelah dan curhatanku dengan alam di sekitarku ketika daun-daun kering menimpaku dan kulihat matahari akan meredup. Ku harus keluar dari lingkungan hijau dan harus meninggalkan mereka.

Beberapa meter menjauh dari tempatku bercengkrama dengan alam, kakiku terasa berat untuk melangkahkan lagi. Entah apa yang memaksa pandanganku untuk menoleh ke arah kananku. Air mata tercucur, amarahku memuncak, dan hatiku bergetar. Bajingan jantan dan betina terlihat asik bercumbu di balik pohon yang tumbang. Mereka asik dengan yang mereka lakukan. Aku tak rela melihat alam yang indah nan sunyi digunakan untuk hal semacam itu. Aku tak rela melihat pohon yang tergeletak dijadikan tempat persembunyian calon penghuni neraka. Mereka menikmati syurga dunia ini dengan perbuatan menyerupai binatang itu. Tak adakah sedikit rasa malu di benak mereka kepada pohon yang tergeletak di sana, kepada pohon yang masih kokoh berdiri di sana, kepada burung-burung yang singgah di ranting.

Sesegera kuhampiri mereka. Satu jengkal di antara mereka mataku semakin menangis nanah bercampur darah. Ternyata bukan hanya satu pasangan tetapi lebih dari lima pasangan yang berada dan melakukan hal keji itu di sana. Tanpa rasa malu mereka hanya memandang polos sembari tertawa tanpa secuil rasa malu. Dengan amarah yang tak tertahan lagi

“Hey Iblis-iblis calon penghuni neraka, tidakkah sedikit rasa malu di antara kalian kepada pohon-pohon yang masih tegap berdiri ini? Tak takutkah jika pohon-pohon ini marah lalu menimpamu karena melihat kalian melakukan seperti ini? Tempat ini bukan tempat kalian, tempat kalian ada di gubuk-gubuk pinggir jalan sana!”

“Apa urusanmu sehingga kau seenaknya bicara, ini bukan punyamu ini punya umum apakah kau berhak melarangku?” jawab laknat itu.

“Aku berhak melarangmu, tempat ini ciptaan tuhan. Harus dilestarikan jangan dibuat seperti neraka!” jawabku dengan kesal

“Akhhhhhhhhhhh… Persetan dengan semua itu. Aku tak butuh dakwahmu aku butuh kenikmatan hidup.” jawab mereka sambil nyengir

“Dasar bajingan, mudah-mudahan ranting dan pohon menimpamu. Dasar bajingan!”

Jawabku dengan lemparan sebuah ranting pohon

Tanpa permisi mereka meninggalkan tempat ini, membubarkan posisinya dari keindahan sesaat yang telah mereka lakukan. Entah apa yang memberanikanku berkata seperti itu. Padahal aku hanya seorang yang tak mau usil dengan yang mereka lakukan. Mungkin karena ku tak mau alamku, kebun rayaku digunakan seperti itu.

“kawanku? Mereka telah pergi, mereka telah mengotori tempatmu. Sekarang kalian bisa menikmati malam tanpa rasa risih, tanpa rasa kesal dengan apa yang mereka lakukan. Bila esok mereka datang lagi kesini dan melakukannya di tempat ini lagi, timpahkanlah ranting-rantingmu.”

Lemah jantungku, harus meninggalkan alamku dengan menyaksikan hal seperti itu.

“Baiklah kawan aku akan pulang, ingat pesanku jangan pernah takut! Timpahkan rantingmu!”

Kuberjalan meninggalkan tempat itu. Mungkin ini pengalaman terakhirku melihat semua kejadian seperti itu. Sedih terus menghinggapi hatiku dan air mata terus menggelayut di mataku tapi kucoba untuk tidak menitikannya karena hanya akan membuat mereka sedih. Sesampai di pintu keluar, ku tidak menaiki angkutan kota aku ingin berjalan untuk melepaskan kekesalanku.

Entah hari ini hari yang kurang beruntung bagiku atau apalah aku tak tahu. Lima puluh langkah dari pintu keluar aku mencium bau air kencing dan bau kotoran manusia. Sangat menyengat dan menyengat menghancurkan hidungku, mengalir kemulutku hingga mual pun terasa.

Trotoar yang biasa digunakan untuk berjalan, sekarang digunakan untuk kencing dan buang air besar. Mungkin orang-orang yang berada di sekitar tempat ini tak mampu lagi membayar untuk masuk ke toilet yang hanya seribu rupiah. Sampah-sampah kulit talas bekas mereka yang berjualan di sana. “Mengapa berserakan?”

“Mengapa sih, mereka sulit untuk menanamkan rasa tanggung jawab? Mengapa mereka hanya menamkan hak mereka saja dalam jiwannya tanpa memperhitungkan kewajiban yang harus mereka lakukan? Mengapa juga pemerintah kota ini masih memberikan kesempatan kepada mereka untuk berjualan? Inikan aset pemerintah kenapa harus menjadi aset bagi para pedagang yang tak mematuhi aturan?Mengapa tak menertibkan mereka? Aneh memang aneh harusnya semua ini dijaga dan dilestarikan oleh mereka tapi kenapa semuanya di obrak-abrik? Haruskah aku berjuang sendiri? Haruskah aku menjaga alamku sendirian tanpa ada yang mendukungku?”


oleh
janwar

Komentar

  1. nanti ku temani dirimu menjaga alam ini......ok..

    sudih mampir lah di bloggku kawan...salam kenal

    BalasHapus
  2. waowww...waooww nice
    saluuttttt... :S

    BalasHapus

Posting Komentar

Silakan berkomentar tentang kami sesuka anda. Kami terima apapun dari anda termasuk kepahitan kata-kata anda. terima kasih!