Memasuki Ruang Lengang, Menemukan Lagi Kesuny[C]ian

Konon pada suatu zaman dimana kita berada sekarang, kebanyakan orang mesti membayar mahal untuk mendapatkan sebuah ketenangan dan kesunyian dalam hidupnya. Villa-villa besar dan megah sengaja dibangun di atas puncak pegunungan, agar mereka bisa menikmati waktu senggang mereka dengan tenang, tanpa gangguan, dan lari sebentar dari rutinitas kehidupan modern.

Bukannya tanpa sebab hal ini terjadi. Dan kian kita sadari bahwa kini kita tengah berada di zaman yang serba riuh. Yakni sebuah zaman 'edan' nan hiruk-pikuk yang penuh sesak oleh perayaan dan gemuruh tepuk tangan.


Di zaman semacam ini, kita terus dihadapkan pada rangkaian kalimat yang berdesak-desakan, diperdengarkan suara-suara yang reriung-riungan, disuguhkan beragam tontonan mencengangkan, dan dihadapi berbagai pengalaman paling mendebarkan yang tak pernah dirasakan manusia pada zaman-zaman sebelumnya.

Setiap pagi, saat kita buka koran terbaru, di situ akan tercetak belasan, puluhan, bahkan ratusan informasi terkini tentang bermacam-macam peristiwa dari segala penjuru dunia saling berdesak-desakan. Juga saat kita buka inbox e-mail kita, setiap harinya akan ada belasan, puluhan, bahkan ratusan informasi berdesak-desakan yang secara bersamaan pula minta diperhatikan. Dan tak hanya itu, di malam harinya saat kita pergi ke cafe atau restoran, lagu-lagu seperti sengaja disetel kencang-kencang, tak peduli tujuan kita ke situ sungguh-sungguh untuk makan atau sekedar bersua kawan.

Wajah jalan raya kita hari ini pun setali tiga uang. Segala kendaraan dari segala arah berdatangan hendak menuju bermacam-macam tujuan setiap harinya, setiap jamnya tanpa henti. Klakson-klakson itu pun akan terus saling bersahut-sahutan seiring arus komuter yang padat merayap. Begitu penat di telinga dan memacetkan pikiran, sebab semua orang tergesa-gesa untuk tiba lebih cepat ke tempat tujuan.

Sementara di belahan bumi yang lain, teknologi paling canggih terus diciptakan. Gedung-gedung tertinggi di dunia terus dipancangkan. Rekor-rekor tercepat dipecahkan. Konser paling megah dan akbar digelar. Seminar-seminar paling super nan dahsyat diadakan. Program acara paling lengkap dan 'terpercaya' disiarkan. Sas-sus paling hangat dan kontroversial disajikan.

Semuanya, secara serentak tampil bersamaan dan masing-masing minta diperhatikan. Segalanya pula, secara serentak seperti hendak menggiring kita dalam sebuah pesona dan janji-janji modernitas yang memabukkan, menawarkan kebahagiaan, kesenangan dan berbagai kejutan menggairahkan.

Dan memang, begini rupanya bentuk kebudayaan yang tengah kita praktikkan di millenium ketiga sekarang. Semuanya riuh, segalanya rusuh. Setiap orang sibuk hingga tak punya waktu lagi untuk berhenti, bicara dalam hati, atau sekedar merenungkan indahnya warna bunga dan kunang-kunang yang hingap di pekarangan rumahnya sendiri.

Di tengah segala keriuhan, kebisingan, dan ketergesa-gesaan zaman inilah, seorang Epri Tsaqib muncul di tengah-tengah kita sekarang. Epri yang mengajak kita untuk jeda sejenak dari semuanya, hening sebentar dari segalanya, mengambil nafas dalam-dalam untuk bersiap-siap masuk ke keketenangan 'Ruang Lengang'-nya yang sepi, yang jauh dari riuh nan pikuknya zaman.

Epri memang bukan demonstran yang sedang mengkritik zaman lalu mengajak kita semua aksi di tengah jalan. Ia juga bukan caleg yang peduli lingkungan sambil kampanye keliling kampung menjelang hari pemilihan. Epri pun tidak sedang ceramah, mengelar rangkaian penyuluhan, atau melakukan penelitian berbulan-bulan untuk menjawab gejala keriuhan zaman ini.

Epri justru, mengajak kita menyimak kembali makna kesunyian lewat sebuah cara yang kerap dipandang remeh dan tak ada gunanya bagi kebanyakan orang, yakni lewat sebuah kumpulan puisi!!

Epri dan Dunia Puisinya
Ruang Lengang merupakan judul buku kumpulan puisi karya Epri Tsaqib, bersampul hitam bergambarkan pemandangan tenang nan meneduhkan. Dirilis pertama kali di Jakarta pada Juli lalu, Ruang Lengang berisi 44 buah puisi yang diselinginya dengan 7 buah foto. Tak banyak memang penjelasan yang bisa kita dapatkan sebagai latar belakang kumpulan puisi ini. Hanya kata pengantar sebagai pembuka dan ucapan terima kasih dari Epri sendiri.

Berhubung terbatasnya ulasan yang bisa saya dapatkan tentang karya tersebut, maka di kesempatan kali ini saya akan coba membedah Ruang Lengang lewat pemaknaan tekstual semata –yang karenanya akan sangat mungkin menimbulkan perluasan makna dari puisi-puisi itu sendiri. Perluasan makna yang bisa jadi akan sangat berbeda dengan niat awal pengarangnya ketika puisi-puisi tersebut ditulis. Perluasan makna yang bisa jadi juga akan berbeda di benak masing-masing anda pembacanya.

Perluasan makna inilah yang tampaknya memang sengaja Epri tawarkan kepada kita semua. Sehingga bisa dikatakan, Epri hendak mengajak pembacanya dalam sebuah pemaknaan aktif ketika meniti puisi demi puisi di Ruang Lengang ini. Simak saja puisi pembuka berjudul 'Di Ruangan Itu' berikut ini:

di dasar ruang hatimu kutanam sunyi
sebuah tempat yang selalu bisa kudatangi
kapan saja aku mau termangu

hari ini aku datang ke situ
memandangi kamu yang galau
lalu aku tulis sebuah sajak yang tak selesai
kuletakkan di salah satu dindingnya

kau boleh melengkapinya kapan saja
atau membiarkannya basah sendirian
dengan tetes airmatamu

Berhubung puisi ini merupakan puisi pertama di buku ini, saya memandang bahwa sejak awal Epri sudah membuka 'ruang' yang multi tafsir dan membebaskan pembacanya dari beban makna. Ia seakan sengaja menulis 'sebuah sajak yang tak selesai' agar pembacanya bisa melengkapi sendiri makna dari setiap puisi yang ada di halaman-halaman berikutnya. Perluasan makna semacam ini kembali ditegaskan pada puisi berjudul 'Tanya' berikut ini:

apa yang kau cemaskan dari hujan?
masihkah ini soal puncak yang lain?
tidakkah begitu banyak isyarat perjalanan, rindu,
tangis, teriakan, hela nafas dan lamunan
menunggu kau nyanyikan

Adapun bait di atas, menurut hemat saya, bakal menjawab setiap per-tanya-an yang bakal muncul ketika kita coba memahami puisi Epri. Bahwa Epri sendiri yang mengajak kita pembaca untuk bernyanyi, untuk secara aktif memaknai.
Di sini kita paham bahwa memang beginilah puisi hendaknya kita perlakukan. Sebuah puisi, lewat kefiksian dan kesubtilan yang terkandung di dalamnya, memang tak membutuhkan verifikasi layaknya sebuah skripsi mahasiswa S-1 yang kaku. Bahasa puisi juga berbeda dengan bahasa jurnalistik yang terang dan mengharamkan ambiguitas.

Kalaupun Barthes menyatakan the dead of the author, maka setiap pembacaan puisi merupakan sebuah 'penulisan ulang' yang muncul akibat pemaknaan aktif pembacanya. Dengan begitu, sebuah puisi tak kan jadi sekedar benda mati dan mesti dituruti seperti kita membaca undang-undang, tapi kini ia hidup di benak pembacanya, bahkan terpisah dari sosok Epri sama sekali sebagai pengarang. Hal ini bisa kita simak pada petikan puisi berjudul 'Ruang Kosong' berikut ini:

Ada ruang kosong di hatiku
Yang selalu menunggu KAU isi

Tapi selama ini
Aku sesungguhnya lupa
Pintu ruang itu selalu terkunci

Kuncinya tertinggal
di rumahMU

Maka lewat perluasan makna inilah Ruang Lengang memang disiapkan sebagai wahana permainan makna dan tafsir pembacanya. Ia ibarat sebuah pintu menuju 'ruang' puisi Epri yang selalu menunggu untuk kita isi untuk kita maknai, sebab kita pembacanya sendirilah yang punya kunci untuk memasuki Ruang Lengang itu.

Masuk Ke Ruang Lengang
Masuk ke Ruang Lengang merupakan hal yang menyenangkan dan penuh makna buat saya. Jika di awal Epri telah mempersilahkan saya untuk masuk ke dalam ruang-ruang puisinya dengan leluasa, maka di dalam ruang itu saya (dan pembaca sekalian) bisa menemukan puisi-puisi yang menawarkan kesunyian yang hikmad pada puisi-puisi berjudul: Gerimis [1], Sebening Embun Sehangat Kopi, dan Pesan.

Ada pula yang menawarkan cinta dan persahabatan dalam: Warna, Lepas Tawa Kanak Kanak, Alun-alun Surya Kencana, dan Tentang Kita. Kemudian tentang nilai-nilai kekeluargaan dalam: Ibu, Ibu 2, Tiup Lilinnya Nak, dan Citacita.

Terkadang Epri juga hendak mengajak kita bermain-main seperti dalam Pencuri, Perjalanan Celanadalam, dan KAU. Di bagian ini, Epri bahkan tak ragu menghadapkan kita pada permainan kata, makna, dan tipografi yang eksperimental. Simak tipografi puisi berjudul ’KAU’ berikut ini:

L S T
a e e
n r r
g i s
k n e
a g o
h k
k
u

terluka dalam perih

sungguh aku tak peduli
bila KAU masih ada
: di setiap

t a m
e i a
t r t
e a
s k
u

Permainan ini lebih mengasyikkan lagi begitu kita tersadar bahwa 7 buah karya fotografi yang tersebar di berbagai halaman, ternyata menawarkan makna tersendiri yang memperkaya nikmatnya kesunyian di Ruang Lengang. Alih-alih sekedar merekam pemandangan, ketujuh esai foto tersebut justru mampu merekam suasana sunyi dan lengang dari berbagai lokasi di mana foto itu diambil. Sebab dengan begitu, kita akan digiring pada sebuah intertekstualitas sederhana dari perpaduan dua jenis teks, yakni puisi (kata) dan foto (gambar). Walhasil, upaya ini begitu memperkaya Ruang Lengang dalam menghidupkan suasana sunyi dan lengang itu sendiri di benak masing-masing pembaca.

Maka setelah masuk ke Ruang Lengang, mencicipi kesunyiannya, dan bermain-main di dalamnya, lalu apa yang bisa kita petik darinya? Ketika Iwan Simatupang berkata bahwa “setiap pengarang adalah produk kultural tanah airnya. Setiap karyanya, perbuatannya, pemikirannya, secara inhaerent memantulkan kembali pertautan dirinya dengan tanah airnya”, lalu sumbangan macam apa yang bisa Epri berikan untuk pembaca, bangsa dan tanah airnya, juga kebudayaan Indonesia kita hari ini? Dapatkah kita mencari tahu kemungkinan di mana letak Epri dengan ‘Ruang Lengang’nya dalam keriuhan ranah sastra kita hari ini yang kian sesak dengan dominasi metropop ringan nan banal, sastra perkelaminan semu nan cabul, dan sastra curhat blog yang nabrak-nabrak?

Epri, Ruang Lengang, dan Spiritualitas
Jangan salahkan saya kalau bagian ini akan terlihat sedikit serius. Maksud saya menghubungkan Epri, buku puisinya, dan nilai spiritualitas di sini justru muncul karena kita telah membedah Ruang Lengang sedemikian dalam sekarang.

Pemabahasan spiritualitas itu sendiri saya gunakan di sini bukan sekedar gaya-gayaan demi menjadikan esai ini sok teoritis, ilmiah atau apapun itu. Justru karena pengalaman saya ketika masuk dan bermain-main dalam Ruang Lengang inilah, tanpa sengaja saya menemukannya tengah tergolek manis dalam kesunyian puisi-puisi Epri.

Bila kita cermati keseluruhan buku ini, setidaknya ada 15 buah puisi yang mengandung tema spiritualitas. Hal ini mewujud lewat penggunaan kata semisal doa, sujud, tetes, sajadah, langit, kening, subuh, tasbih, dan shaf. Simak petikan puisi berjudul ‘Jama’ah’ berikut ini:

sungguh,
aku rela
meski hanya
jadi sebutir pasir

yang melengkapi pantai biru perawan
di langit cerah dengan nyiur melambai
dan deburan merdu laut, dalam sebuah potret

aku rela
meski hanya
jadi sebutir pasir
di pemandangan indah itu

: sungguh

Puisi lain yang terasa lebih khusyuk dan merdu ada di ‘Jiwajiwa Subuh’ berikut ini:

jiwa-jiwa subuh
memahat
keningkening rapuh
di lusuh sajadah

lirih alunkan tasbih

menggapai-gapai
mencariMU

Puisi dengan kandungan semacam ini juga bisa kita jumpai pada Azan Jum’at, Pesan, Ruang Kosong, KAU, dan Tujuh. Sebuah kandungan tema yang mesti diakui mendapat tempat istimewa dalam Ruang Lengang.

Dan ini yang membawa saya pada satu kesimpulan betapa kesunyian dan kelengangan yang ditawarkan Epri di sini bukan sekedar sepi sendiri yang hampa nan absurd. Namun kesepian yang diisi dengan nilai-nilai spiritualitas itu, maka Ruang Lengang menyajikan sebuah kesunyian dan kelengangan yang berisi. Sebuah kesunyian yang terkandung kesucian dan melibatkan nilai-nilai sipritualitas di dalamnya.

Diskusi Penutup
Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Dunia Yang Dilipat (Jalasutra; 2004) menjelaskan, dunia spiritualitas merupakan dunia yang penuh kesunyian, yang digerakkan oleh energi pengekangan (hasrat), yang dibangun oleh benteng kesabaran, yang diasah oleh semangat kekhusyukan, yang selalu memproduksi kedalaman dan sublimasi, yang dipenuhi oleh ruang-ruang kesucian, dan yang disarati oleh tanda-tanda ketuhanan.

Nilai-nilai spiritualitas inilah yang tampaknya kian hari kian redup di tengah-tengah masyarakat kita sekarang. Simak saja betapa korupsi petinggi negara kian marak dan tanpa malu dilakukan, trend video porno pelajar dan mahasiswa yang merisaukan, pembunuhan berantai tanpa merasa bersalah, banalnya sajian pers kita dewasa ini yang hobi mengumbar ketelanjangan, dan kehampaan manusia modern yang bergelut dalam keriuhan, kebisingan, dan ketergesa-gesaan zaman.

Meski sayangnya di sisi lain, nilai-nilai spiritualitas ini secara bersamaan pula mesti terjebak dalam sempitnya pemikiran kaum konservatif tertentu, yang memaksa kita kembali pada sebuah dunia masa lalu yang stagnan, anti-progresif, dan tidak punya skenario masa depan untuk kebaikan bangsa ini. Sampai-sampai mereka berpikir bahwa dengan mengharamkan rokok dan meng-RUU-kan pornografi, maka semuanya akan menjadi beres.

Maka kini saya percaya, spiritualitas Ruang Lengang bakal membentuk wacananya sendiri bagi pembacanya. Mengajarkan nikmatnya kesunyian dan khusyuknya kesucian, bukan dengan paksaan, tapi lewat puisi-puisi yang membebaskan. Begitu sejuk dan melegakan

Pry S

Komentar