Keluarga Nusa

Di sebuah desa kecil yang cukup damai, terdapat sebuah keluarga kecil.
Terdiri dari orangtua yang sudah renta beserta lima anaknya.
Tersebutlah kepala keluarga bernama Nusa, dengan istrinya Ratih yang
merupakan istri kedua. Sebelumnya Nusa memiliki istri pertama bernama
Nagariwati yang telah dipanggil oleh Sang Khalik. Bersama Nagarawati,
Nusa dikarunia anak yang bernama Jain, Suma, dan Pepi. Sedang istri
kedua telah memberikan anak yakni Ronald dan Mangku. Kelima anaknya
putra semua. Benar-benar seperti pandawa dalam pewayangan

Pada suatu malam Nusa mengumpulkan seluruh anggota keluarganya di
beranda rumah yang cukup sederhana. Ada hal penting yang mau
dibicarakan. Memang tidak biasanya pertemuan digelar. Apalagi Nusa
selama ini lebih banyak bekerja di ladang atau pula menyendiri meski
waktu telah larut. Pasti ada hal yang cukup penting atau pula genting


Nusa : "Kalian semua tahu bahwa usiaku sudah tua. Saya ingin hidup
tenang. Setidaknya aku tak perlu lagu mengkhawatirkan kalian saat aku
sudah di alam barzah. Untuk itulah aku kumpulkan kalian disini.

Ratih : "Kakanda, bukankah kita masih membutuhkanmu?Bukankah masih
terlalu dini untuk membicarakan ini?"

Nusa : "Tidak. Cepat atau lambat pasti ini terjadi. Dan sekarang
adalah waktu yang tepat. Aku ingin memberikan sebuah nasihat.( Minum
kopi seteguk) Hai anak-anak, kalian tahu kita adalah keluarga
sederhana. Tidak ada yang bisa aku wariskan kepadamu kecuali ladang
beserta padi-padi ini. Saya harap kalian bekerjasama. Saya yakin
dengan kecerdasan dan kerja keras kalian, maka keluarga ini akan tetap
tercukupi dan bisa berbagi dengan masyarakat sekitar"
Nusa juga memebrikan Ratih da buah ruas batang bambu yang didalamnya
berisi uang logam dan juga buntelan berupa emas yang pada suatu saat
dapat dijadikan modal untuk berusaha atau digunakan seperlunya. Nusa
pun pamit pergi ke suatu tempat untuk berkhalwat. Di sebuah tempat
yang jauh, di desa bernama nirwana.
Hari pun terasa sepi tanpa kewibawaan Nusa. Ratih, sang Ibu tidak mau
berlarut dalam kesedihan. Pun begitu dengan anak-anaknya. Ratih
mencoba mengambil alih segala apa perintah Nusa. Ratih langsung
bergerak cepat dengan memberikan instruksi kepada anak-anaknya.

Ratih : " Jain, Suma, dan Pepi. Kalian harus bekerja keras untuk
ladang ini agar kita dapat makan. Kalian benar-benar tumpuan keluarga.
Sedang Ronald dan Mangku, kalian harus berangkat sekolah agar cerdas
dan dapat melaksanakan amanat ayah kalian"

Jain : " Iya ibunda. Tapi kita kan juga harus sekolah?"

Ratih : " Sekolah memang penting, tapi bukankah lebih penting
melaksanakan amanat ayahanda. Kita harus membagi keluarga kita., siapa
yang bekerja keras dan siapa yang harus cerdas agar keluarga kita
selamat."

Ronald : "saya setuju itu. Kita harus membagi tugas."

Jain : "baiklah, saya akan turuti nasehat ibiunda."

Hari hari pun berlalu. Jain, Suma, dan Pepi benar-benar bekerja keras
di ladang. Mulai dari subuh sampai menjelang larut mereka berjibaku
dengan tanah untuk merawat padi. Padi pun benar-benar subur laiknya
jamrud khatulistiwa. Ketika musim panen mau datang Padi berubah kuning
laksana emas. Anugerah tuhan benar-benar memberkahi kerja keras
mereka, setidaknya hal ini membuat bunga hati dari sang Ibunda.

Sementara itu Ronald dan Mangku juga setiap hari ebrangkat sekolah.
Berpakaian rapi dan necis serta bersepatu. Pulang ke rumah pada waktu
hari menjelang sore. Beristirahat sebentar dan malam hari belajar
untuk keesokan hari. Buku dan buku, itulah yang menjadi teman
sejatinya. Terkadang harus komat-kamit semaleman hanya untuk menghafal
teks-teks buku sebagai modal untuk ujian esok hari. Semakin lama
semakin hari Ronald dan Mangku benar-benar mempunyai bahasa yang beda
ketika berbicara dengan anggota keluarga yang lain. Seolah ada sesuatu
yang sangat-sangat susah dan njlimet ketika keduanya berbicara, dan
itu juga membuat anggota keluarga sepakat berkata bahwa mereka berdua
adalah orang cerdas. Dan mereka pun berbunga hati bahwa amanah ayahnya
akan dapat terlaksana. Tentunya tak ketinggalan Sang Ibunda, yang
benar-benar sangat gembira, di dalam hatinya berkata "darah dagingku
emang menurunkan orang-orang yang cerdas. Putraku benar-benar sesuai
dengan harapan saya".

Musim panen pun tiba. Berkah Tuhan kali ini benar-benar melimpah. Padi
yang dihasilkan cukup bagus, Jain, Suma, dan Pepi dengan giat memanen,
mengumpulkan dan mengeringkan padi. Bergantian meminggul dari ladang
ke rumah, dari karung satu ke karung yang lainnya. Tak peduli kulit
terbakar hitam kelam. Tak peduli pula tangan selaiknya tangan sang
tukang besi. Benar-benar Jain, Suma, dan Pepi tampak lebih tua dari
masanya. Meski begitu tak dapat disembunyikan keriangan hatinya
sebagai anak-anak yang pertama kali berhasil melaksanakan pekerjaan
yang diembankan oleh Sang Ayahanda.

Segudanglah hasil panen ditempatkan di sebelah rumah. Sang Ibunda tak
berhenti mengucap syukur atas keberhasilannya. Tiba saatnya besok
untuk menjual hasil panen. Jain, Suma, dan Pepi ingin menjual hasil
panen di tengkulak. Tapi si Ronald dan Mangku menolaknya dengan alasan
secara ekonomi akan merugikan.

Ronald : "Jangan dijual ke tengkulak yang membeli murah. Kita bisa
jual langsung ke kota. Hal ini memutus jaringan ekonomi, pasti padi
kita akan dibeli dengan harga mahal di kota."

Jain : "tapi kita tidak mempunyai mobil. Lagian kita tidak tahu dimana
tempat menjualnya?"

Ronald : "Oh itu gampang, pasar adalah tempat bertemunya orang-orang
untuk bertransaksi. Pasti padi kita akan dibeli mahal."

Jain : "Ya udah terserahlah. Aku berikan kepercayaan kepadamu yang
lebih pandai."

Ronald : "oke man. Siap laksanakan (dengan sikap penuh percaya diri)."

Setelah digiling padi dan dijadikan beras, pun dikarungi dan sudah
siap untuk dijual, si Ronald menyewa mobil untuk mengangkut padi ke
kota. Dia berangkat bersama saudara-saudaranya menuju pasar di kota.
Disana mereka bertemu dengan seorang agen sembako dan dengan sedikit
tawar menawar, beras pun dibeli dengan harga sangat tinggi, 2 kali
lebih tinggi dari harga yang ditawarkan di tengkulak desa. Mereka pun
senang dan gembira. Mereka benar-benar larut dalam kesenangan dan
membawa banyak uang ke kampung.
Kelima bersaudara pun tiba di rumahnya. Benar juga, disambut ibunya
dengan senang hati. Terasa amanah ayahandanya benar-benar terlaksana.
Puji syukur dipanjatkan sang Ibu tak henti-hentinya.

Di beranda itu, saat empat bulan yang lalu ayahnya memberikan
wejangan, semua anggota keluarga tampak deg-degan dan riang hati.
Betapa tidak saat itu adalah saat pembagian uang hasil penjualan
beras. Ratih pun memulai memberi prolog sebelum membagikan uang.

Ratih : "Alhamdulillah, kita diberkahi Tuhan atas nikmat yang
diberikan dengan hasil panen yang melimpah . Nah sekarang Ibu mau
membagi hasil panen sesuai kerja keras kalian. Jain, Suma, dan Pepi
kalian mendapatkan setengah bagian hasil. Sedangkan Ibu, Ronald dan
Mangku mendapatka setengah yang lainnya."

Ronald : "Maaf sebelumnya saya mau mengeluarkan pendapat. Hasil panen
pertama adalah bukan berarti panen yang terakhir, belum tentu hasil
panen kita akan lebih bagus pada panen kedua atau seterusnya. Belum
lagi ada kenaikan barang-barang pendukung seperti pupuk, pestisida dan
lai-lain. Saya rasa perlu kita sisihkan seperempat bagian kita untuk
cadangan. Sekian dan terima kasih."

Jain : "benar, saudara Ronald begitu cerdas. Saya kira penting itu"

Akhirnya rapat intern itu pun selesai dan ditutup dengan keceriaan,
tak ada kesedihan apalagi nada protes dari anggota keluaga.

Masa berganti masa. Keberhasilan panen yang satu berlanjut dengan
panen yang lain. Uang pun berkembang biak. Rejeki mengalir bak sungai
ciliwung di musim hujan. Bertambah-tambah dan tak pernah surut.
Seluruh desa memuji dan membicarakan kehebatan keluarga Nusa yang
telah ditinggal Nusa.

Tuhan adalah maha menulis sejarah. Kejadian itu bermula pada suatu
pagi. Tatkala datang seorang pengemis ke rumah Nusa, dia minta belas
kasihan. Di situ ada Ronald dan Jain.

Pengemis : "mohon belas kasihan pak!"

Ronald : " Kenapa ya banyak orang yang mau mendapatkan uang
dengan menadahkan uang seperti ini, padahal kita harus bekerja dulu
sebelum mendapatkan uang?"

Jain : "aku pun harus rela bermandikan matahari, hanya untuk sekeping uang."

Pengemis : "maaf mengganggu. Saya mengemis karena sudah tidak
mempunyai tenaga yang kuat dan otak yang cerdas seperti kalian. Dan
pula saya hanya meminta bukan menjual harga diri."

Ronald : "Kamu itu menjual dirimu dengan mengemis."

Pengemis : "Setidaknya saya bukan pelacur dari jalan Tuhan seperti kalian"

Pengemis itu pun mengeluarkan secarik kertas seperti sebuah akta
hukum. Ya akta hukum bertuliskan sebuah nama : Anggoro dengan hak
waris sebuah desa Ningrat.

Ronald : "Lho apa ini. Ini surat apa?ini surat palsu ya?awas kamu bisa
dmasukan penjara lho."

Pengemis : "Ini adalah sebuah bukti hukum bahwa tanah ini bukan milik
anda. Sekarang silakan seluruh anda keluar dari rumah ini. Atau kalau
tidak anda akan saya masukkan ke penjara."

Ronald : "Oh tidak, kami akan menuntut kamu pak Tua. Lagian siapa
yang percaya kamu yang mengada-ada. Kamu hanya orang iri dengan kami."

Pengemis : "Hai bocah tengil yang baru melek. Kamu hanya akan
menghabiskan uangmu dengan tindakanmu. Heheheh....mari kita selesaikan
ini di kelurahan saja"

Kelurahan pun mendadak menjadi seperti pameran yang biasanya hanya ada
waktu perayaan hari kemerdekaan negara. Cukup ramai. Tampak diantara
meja-meja serta kursi-kursi selain yang berpekara (Ronald dan
Pengemis) juga pak Kades yang berkopiah.

Pak Kades : "Semoga permasalahan dapat diselesaikan dengan damai"
Ronald : "kami, dari keluarga Nusa beritikad baik kok pak. Cuma
kami tak bisa menerima sebuah pengakuan dari bapak ini (sambil
menunjuk si Pengemis."

Pengemis : (hanya tertawa terkekeh)

Pak Kades : "Apakah dasar bapak atas pengakuan hak tanah rumah Pak Nusa?"

Pengemis : "Ini. Seluruh tanahnya itu adalah milik saya. Saya tuh guru
dan Bapak Angkat Si Nusa. Si Nusa saya berikan tanah di sini dulu.
Saya ke sini sebenarnya hanya ingin mampir, tapi dikarenakan sikap
anak tengil ini, jadi saya harus ungkapkan kebenarannya."

Ronald : "jangan membual cerita pak tua."

Pengemis : "halah...silakan teliti surat ini di peta tanah dan
administrasi desa."

Akhirnya si Kades pun menyuruh para pamong desa bekerja membongkar
arsip desa khususnya pertanahan. Diketahui bahwa tanah yang didiami
oleh Keluarga Nusa dan bahkan hampir satu RT dilingkungan tersebut,
ternyata masih tertera atas nama Anggoro. Seluruh keluarga Nusa pun
pingsan dengan bukti tersebut. Mereka tak percaya dengan fakta hukum
yang ada.

Pengemis : "Saya ucapkan terima kasih kepada Pak Kades, dan saya
sumbangkan tanah untuk petani yang tak berlahan. Saya membantu anak
saya, Nusa menyelesaikan amanahnya untuk berbagi."

Seluruh keluarga Nusa pun pecah tangisnya, kecuali Sang Ibunda,
tersenyum hangat, karena mendengar kata–kata berbagi dari pengemis
yang merupakan amanah terakhir dari sang Ayahanda.

Komentar