Villa Engkok

Nai lin. Seorang tiong hoa yang punya toko di pasar baru, tak pernah
bosan untuk mengunjungi sebuah villa yang berada di wilayah puncak
Bogor pass. Sedan BMWnya pun menemani sampai puluhan kilometer
jaraknya. Begitu gaya hidup jetset yang lumrah bagi kalangan atas
orang Jakarta.

Sore itu, setelah menyantap "daun muda" Bogor yang disediakan oleh
para agen-agen lokal, Engkok-demikian anak buahnya menyapanya-
berjalan keluar kamar villa dan mengeluarkan sebatang rokok dji sam
soenya. Dinginnya hawa malam bogor ternyata masih kalah dengan
permainan panas yang baru terjadi di kamar tersebut (atau mungkin juga
bosan?). Sekelebat ada seorang asisten Villa, Pak Udin yang lagi
ronda di depan rumah. Dipanggilnya Pak Udin, dan akhirnya Engkok
memulai pembicaraan santainya.

"Udin, gimana kabarnya."
"baik pak."
"Bogor, kok sekarang gk sedingin dulu ya."
" iya pak, mungkin karena banyak pohon yang ditebangi untuk perumahan."
"Maksudmu kayak villaku ini."
"Bukan bermaksud menghina bapak."
"Oohh...kamu nggak usah rikuh atau menyembunyikan diri seperti pejabat
yang minta sumbangan din. Gk usah...blak-blakan aja. Anggap saja aku
ini temanmu"
"iya pak, bisa jadi villa-villa ini membuat hawa puncak ini tidak dingin lagi."
"Tapi saya membangun villa disini kan ada izinnya. Dan yang
mengeluarkan izin kan pemerintah daerahmu yang jelas pinter dan
mempunyai pandangan akan lingkungan hidup. Kamu ngerti kan?."
"Saya tidak terlalu jauh mengerti pak tentang itu."
"Dan karena saya membangun villa disini sehingga kamu dapat pekerjaan bukan?"
Pembicaraan pun semakin hangat dan akhirnya lonceng berdentang 2 kali,
tanda waktu dini hari menyelimuti puncak Pass. Si engkok pun pamit
kepada Pak Udin. Si engkok masuk ke kamarnya melanjutkan tugasnya pada
shift kedua sedang Pak Udin kembali menjaga rumahnya dari serangan
mata-mata nanar.

Matahari pun bersinar kembali. Sudah berada diatas kepala. Engkok pun
dengan wajah masih kusam dan rambut acak-acakan bangun dari tidurnya.
Si Indah, daun muda yang menemaninya pun sudah terlebih dahulu bangun
dengan gaya mempesona, hanya berbalut kain yang tipis dengan rambut
berurai. Gadis yang mempunyai nama asli Siti Inayah itu melontarkan
senyum manis kepada si Engkok dan sembari menyuguhkan kopi hangat
sebagai pembuka hari.
"Pagi, om sayang."
"pagi juga. Tadi malam, dahsyat sekali ya"
"Ahh...bapak masih oke juga lho"
"Oh ya. Ini untuk kamu (sambil mengeluarkan uang ratusan ribu sepuluh
biji). Ntar kalau aku kesini lagi, aku mau make kamu lagi"
Bunyi HP dengan nada sambung lagu The Rock "munajat cinta"
berdering....Tuhan kirimkanlah aku kekasih yang baik hati....HP Si
Engkok berbunyi, dari suaranya terdengar suara perempuan yang
menelpon. Engkok pun menjawab dengan malasnya.
"Iya mam, saya pulang ntar sore. Saya masih ada meeting di Bandung.
Siapkan saja makan malam yang enak ya. See u mam"
Wajah engkok terlihat sedikit muram. Dari keriput wajah pria berumur
45 tahun itu sangat mudah terlihat. Kembali dia memandang wajah daun
mudanya.
"Wanita Jakarta itu payah. Kagak ada romantisnya."
"Maksud bapak. Istri bapak?."
"Dia itu tak ubahnya drakula daripada seorang istri."
"Sadis dong (dengan gaya genitnya)."
"Bukan sadis lagi. Dia akan menghisap darah kita sampai habis, tapi
mukanya selalu manyun. Coba ketika melihat barang-barang mewah,
matanya akan berubah hijau. Kalau hijaunya laksana puteri belanda sih
bagus, tapi ini ijo buto ijo. Gawat bener"
"Ya udah Pak. Sering-sering ke sini aja, biar terhibur"
"Iya, lu emang paling ngertiin aku."

Engkok pun keluar untuk pulang lagi ke Jakarta. Sekelebat, hati engkok
pun bertalu-talu. Bogor memang selaksa sebuah surga. Iya, surga bagi
neraka-neraka dan makhluk-makhluk didalamnya yang tergambar di
Jakarta. Hawa sejuk, puteri bak bidadari dan juga kelembutan suara dan
apalagi ketika merajut pada puncak nirwana. Mendung-mendung yang
merajut romantisme. Tidak salah orang jakarta banyak berduyun-duyun ke
Bogor khususnya puncak.

BMW itu distarter. Teringat kembali neraka jakarta akan menanti. Dan
pastinya akan menanti surga-surga di hari-hari sibuk bak neraka dan
lekas ketemu weekend. Terus dibalut kerinduan setiap hari. Bersembunyi
dibalik kemewahan hartanya. Entah kemana lagi Engkok harus mencari
surga ketika Bogor sudah menjadi neraka seperti Jakarta?

Lisnosetiawan

Komentar