IMAN

Alarm jam waker berbunyi tepat di atas kepala iman yang sedang tidur. Dia bangun dan mematikan suara alarm jam waker itu. Suasana kamar masih gelap karena lampu kamar belum dinyalakan. Iman pergi ke luar rumah menuju kamar mandi yang terpisah dari rumahnya, lalu mengambil wudhu.

Suasana gelap sepi belum ada suara bising. Hanya ada suara jangkrik yang mengerik dan sesekali ada suara kendaraan melintas di jalan raya depan rumahnya. Dingin angin malam pun menembus dinding kamarnya yang hanya terbuat dari bbilik bambu. Ditambah lantai kamar dari karpet plastik pelapis tanah yang semakin menusukkan rasa dingin angin malam.

Iman menebarkan sajadah lalu bersiap untuk shalat. Sementara jam menunjukkan pukul 02;15. waktu di mana orang-orang sedang terlelap dalam tidurnya, iman selalu menyempatkan shalat Tahajud.

“Sudah jam tiga kurang seperempat. Baiknya aku tidur dulu.” Ucap iman setelah selesai shalat dan berdoa.

Ia kembali membringkan diri ke atas tempat tidur yang hanya terbuat dai bambu dilapis kasur tipis. Karena kapuk di dalam kasur itu keluar lewat kain kasur yang bolong. Lalu dia ambil jam wakernya mengatur jarum alarm tepat pukul 04;30. setelah meletakan jam tersebut ia langsung tidur.

Alarm jam waker kembali berbunyi iman langsung bangun dan kembali mengambil wudhu untuk shalat subuh. Setelah itu dia langsung mandi dan bersiap untuk berangkat.

Suasana sudah mulai ramai. Ibu khodijah yang tak lain adalah ibu angkat iman sudah menyiapkan sarapan. Mereka hanya berdua di dalam rumah sederhana itu. Jadi ibu khodijah hanya menyiapkan sarapan seadanya.

“Aku berangkat dulu, Bu. Assalamualaikum!” Ucap iman berpamitan setelah bsarapan dan sambil mencium tangan bu khodijah.

“Waalaikum salam! Hati hati ya, Man!” Jawab ibu khodijah sambil merapikan meja makan.

“Iya, Bu.” Sambut iman sambil menjalankan sepedanya.

***

“Assalamualaikum!” Sahut iman pada pak warso sambil menyandarkan sepedanya di bawah pohon depan toko pak warso.

“Alaikumsalam! Wah kalau saja semua pengantar sepertimu, aku oasti sangat terbantu.” Ucap pak warso memuji iman karena datang lebih pagi dari yang lain.

“Ah Bapak bisa saja!” Ucap malik malu-malu.

“Aku bangga padamu, Nak. Sekarang kamu masuk sekolah jam berapa?”

“Seperti biasa, Pak. Jam 01;15.”

“Oh, kalau begitu cepat kamu ambil koran bagian kamu dan ini ongkos buat kamu.” Kata pak warso sembari memberikan selembar uang sepuluh ribuan.

“iya, Pak. Terima kasih!” lalu membawa sekumpulan koran yang masih hangat. Mungkin baru keluar dari percetakan.

Sepanjang jalan menuju sekolah, iman memberikan koran-koran tersebut ke rumah-rumah pelanggan pak warso di komplek perumahan Duta Pertiwi. Kurang lebih 60 ekseplar dia bagikan ke 56 rumah di kompleks tersebut. Ada sebagian rumah yang memesan dua koran harian berbeda. Hampir setiap hari ia lalukan pekerjaan ini sambil berangkat sekolah dengan sepedanya.

Setelah mengantarkan koran-koran tersebut, iman melanjutkan perjalanan ke sekolah. Jarak dari komplek tersebut ke sekolah iman cukup jauh. Iman harus melewati jalan raya yang sudah disibukkan dengan lalu-lalang kendaraan yang saling mendahului. Mungkin karena mereka sama-sama ingin cepatsampai ke tempat kerja atau sekolah.

“Duar...!” Tiba-tiba suara ledakan lalu terdengar kembali suara hantaman benda keras yang membuat semua orang di sekeliling jalan terkaget. Semua orang berteriak dan berlari ke arah suara tersebut.

“Astagfirullah Aladzim!” ucap seseorang terkaget melihat ke arah suara tadi.

“Ada apa ini, Pak?” Tanya seseorang kepada orang yang mungkin melihat kejadiannya.

“Entahlah. Tadi terdengar suara ledakanseperti suara ledakan ban mobil pecah. Lalu saya dengar kembali suara tabrakan kendaraan.” Jawabnya.

Di lihatnya asal kejadian itu. Tergeletak sepeda yang rusak. Mungkin karenatertabrak. Tak kurang 50 meter dari sepeda, terparkir mobil sedan dengan kap depan yang rusak. Di dalamnya sang sopir dengan berpakaian kemeja dan dasi warna merah tak sadarkan diri dengan kepala tertunduk di atas setir mobil.

Di depan mobil tersebut tergeletak anak laki-laki berseragam putih-abu penuh darah tak bergerak. Dari teling, mulut dan hidungnya keluar darah menodai seragam putihnya.

“Iman...?” terdengar teriakan keras anak perempuan berseragam SMA turun dari angkutan umum berlari menuju anak laki-laki yang tergeletak tak berdaya tersebut. Diaberdiri di depan anak tersebut, menangis tanpa henti dan terus menyebut nama iman. Tak ada yang meredakan tangisan anak perempuan itu atau menyentuh anak laki-laki yang tergeletak itu. Semuanya hanya tertunduk diam dan tak melalukan apa-apa.

Gunungputri, Bogor 20.03.2008

23.32

wahyudimalamhari

Komentar