Rumah Tanah

Gerimis. Masih memberikan remahannya pagi ini. Seperti pagi kemarin. Membuat tanah pekaranganku basah. Aroma tanah di pagi hari merasuk ke hidungku. Kaca jendela kamarku pun berembun. Ada nama Tuhan disana. Terukir rabun. Walaupun aku telah mengusap kaca itu dengan kain, masih saja membekas di hati dan pikiranku.
Matahari telah lahir begitu sempurna. Membuat panas yang begitu menyengat kulitku. Tapi terik yang baik untuk mengeringkan buah tanganku. Aku menjejerkannya satu persatu disebuah balai bambu. Menjemurnya di bawah sinar matahari. Berharap besok bisa terjual di pasar. Sehingga uangnya bisa aku gunakan membeli motor untuk Bapak. Peluh keringat tiap hari menjadi bulir dari pori tubuhku. Bekerja untuk sebuah kehidupan yang kini aku jalani sekarang. Menjadi seorang pengrajin dari tanah liat.


Segenggam tanah liat kini berada di tanganku. Aku menatapnya penuh harap. Tanah liat itu seketika berubah menjadi sebuah rumah tanah. Hilir mudik satu keluarga berkeliaran di rumah itu. terdengar suara canda tawa di samping rumah itu. Begitu meruah. Bibir yang tiada henti-hentinya bersuara. Tiba-tiba hujan mengguyur. Semuanya berlari ke dalam rumah. Namun seketika meleleh perlahan karena terkena air hujan.


“selamat siang Kujes”.


Aku dikagetkan suara yang menyapaku. Rumah tanah yang aku lihat barusan menjadi tanah liat lagi. Kini berada di genggamanku.

“selamat siang Pak Hamur”.

Pah Hamur adalah pemilik usaha kerajinan tanah liat ini. Aku bekerja kepada beliau sudah lima tahun. Ia begitu mempercayaiku sebagai pekerjanya. Katanya aku rajin, ulet, dan pekerja keras. Ia sangat baik kepadaku, telah menganggapku sebagai anaknya sendiri.

“Kok kamu masih kerja Jes, bukannya Bapak sudah liburkan selama seminggu ini”.
“ohh…iya Pak.”
“mestinya kamu itu sudah pulang ke kampung halamanmu. Kasihan Bapakmu sendiri disana.”
“iya Pak. Kujes kesini mau kerja. Sekalian besok pagi mau menjual ke pasar barang-barang yang sudah dicat semalam.”
“kerja apa lagi?”
“e…e…e…anu Pak. Kujes mau buat satu lagi. Tapi tidak untuk dijual.”
“tidak untuk dijual?”
“iya Pak. Kujes mau buat untuk Bapak di kampung.”

Seminggu lagi lebaran. Semestinya aku pulang ke Bapak. Tetapi aku harus membuatkan sesuatu untuk Bapak; sebuah rumah tanah. Sudah lama aku ingin membuatkannya. Baru kali ini ada waktu untuk membuatnya. Lagipula Pak Hamur mengijinkan.

Puasa tahun ini biasa saja bagiku. Tidak ada yang istimewa. Kecuali bertemu dengan Bapak di kampung. Sudah lama tidak bertemu dengannya. Bagaimana rupanya sekarang. Berapa usianya sekarang. Apa tubuhnya sudah dipenuhi keriput yang menjalar. Apa usianya sudah mencapai tujuh puluh tahun. Atau mungkin, apa ia masih mengenaliku. Ah Bapak, kau memeras keringat tiap hari hanya untukku. Naik sepeda puluhan kilometer ke sawah untuk menggarap tanahmu. Untuk anakmu. Aku.

Bahagia meliputi hatiku hari ini. Berharap bisa menemui Bapak di kampung. Uang menggumpal di kantongku. Untuk Bapak. Beli motor. Agar tidak susah lagi mengayuh sepeda tuanya ke sawah. Bukan hanya itu, sebuah rumah tanah dari tanah liat akan aku berikan kepadanya. Agar Bapak bisa melihat hasil jerihku selama ini.

Aku menatap rumah tanah itu di depanku. Telah aku bungkus plastik kemarin agar tidak ada yang menyentuhnya. Apalagi catnya belum terlalu kering. Warnanya menari-nari. Membuatku tersenyum sendiri. Di beranda rumah tanah itu aku buatkan juga patung manusia. seorang Bapak dan anak lelakinya yang sedang minum teh. Anak lelakinya itu menuangkan teh ke dalam cangkir Bapaknya. Tangan hangat sang Bapak mengambil cangkir itu. perlahan. Cangkir itu bergoyang-goyang. Serasa tangan keriput itu tidak kuat lagi mengangkat secangkir teh. Setua itukah Bapak sekarang.

Bapak mencoba berdiri. Beranjak dari tempat dudukn

aku berteriak karena terkejut. * Cemas. Bapak terjatuh di tangga. Sedangka *n aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ia menco *bauruni tangga beranda rumah. Saat menuruni tangga tengah, ia terjatuh.

“Bapaaaaaaaakkkk………!”n Kujes, anakku”.
“Bapak baik-baik saja kan? Apanya yang sakit?”
“sudah. Bapak baik-baik saja. Hanya.�F/b.static.ak.fbcdn. �
“lagipula Bapak mau keman *a?”
“Bapak mau kesa ngga saja kok teriak kencang sekali.”
“Kujes cemas kepada Bapak”.
“sudah Bapak katakan, tidak usah cemas. Bapak baik-baik saja. Tenanglah.”
“lagipulaana?”
“di rumah ibumu!”
“rumah ibu?”
“iya. Sudah lama Bapak tidak mengunjungi rumahnya. Lagipula pasti rumput liar tumbuh subur di rumahnya. Sekalian Bapak mau membersihkannya. Kamu juga tidak pernah lagi mengunjungi ibumu. Kau terlalu sibuk dengan pekerjaanmu.”

Aku bisu mendengar perkataan Bapak. Sudah lama aku tidak mengunjungi makam ibu. Entah sudah berapa tahun. Rupa ibu pun telah samar bagiku. Bahkan aku lupa kenangan terakhir dengannya. Sudah bertahun-tahun ia beridiam diri di dalam pusaranya.

“Kujes……!”
“iya Bapak”.
“mengapa melamun?”
“aku……teringat Ibu, Bapak”.
“kamu harus berjanji”.
“janji apa Bapak…?”

Mobil ngerem mendadak membuatku terbangun. Mataku langsung mencari tahu. Ternyata sudah sampai di tempat tujuan. Aku memeriksa barang-barang bawaanku sebelum turun. Terutama rumah tanah. Masih utuh.

Berjalan kaki sejauh setengah kilometer untuk sampai di rumah. Itu sudah biasa aku lakukan. Apalagi kini jalanan sudah beraspal. Jadi begitu mudah menapakinya. Begitu banyak perubahan yang aku lihat. Kebanyakan rumah warga sudah berpagar walau masih terbuat dari bambu. Lampu jalan pun mulai ada menghiasi jalanan. Tetapi pepohonan rimbun yang sering aku tempati bermain petak umpet bersama teman-temanku waktu masih kanak-kanak dulu, kini hanya bisa aku lihat di dalam lukisan saja. Begitu menghijau. Tetapi tidak hidup.

Kakiku berhenti melangkah di depan sebuah rumah tua. Berpagar bambu. Lumut menjalar. Entah sudah berapa lama bambu ini tidak dicat. Pekarangan yang begitu hijau oleh kehadiran rumput liar dan semak-semak. Aku menatap rumah itu dari segala sisi. Tidak banyak yang berubah, hanya saja rumah yang ada di hadapanku ini semakin menua saja. Seperti penghuni di dalamnya. Bapak.

Aku mendorong pintu pagar bambu itu. Memasuki pekarangannya. Menginjak rumput-rumput liar. Terdiam sejenak di beranda rumah. Ingin rasanya memeluk rumah ini seperti memeluk rumah tanah yang aku lakukan sekarang. Begitu rindu menguasaiku. Hingga tetes airmataku meruah berjatuhan di lantai. Tak ada kata yang bisa aku ucapkan. Ibarat anak TK yang baru belajar mengenal abjad, belum bisa merangkai kata. Pintu rumah yang ada di hadapanku kini rasanya begitu jauh dari tatapanku.

Aku mencoba melangkahkan kaki. Perlahan. Tanganku begitu nari ingin mengetuk pintu rumah itu. Saat kepalan jemariku ingin mengetuknya, tiba-tiba saja pintu itu terbuka. Aku kaget mendapati seorang lelaki tua yang begitu meriput. Kedua matanya seakan tidak terlihat lagi. Begitu jelas terdengar hembusan nafasnya. Rumah tanah yang ada di dekapanku terjatuh ke lantai. Retak.

Suara alam begitu riuh di kampung. Bukan hanya itu, suara takbir pun bertalu-talu. Setelah sekian lama baru aku menikmatinya. Tentu saja dengan Bapak. Di beranda rumah tua ini. Gerimis perlahan membasahi tanah. Aku teringat saat kanak-kanak dulu sering bermain di bawah gerimis, di pekarangan rumah.

“sudah melamunnya. Minum tehnya dulu. Biar lebih hangat.”

Suara Bapak mengagetkanku. Ia menuangkan teh ke dalam cangkirku. Bersama kami minum teh di bawah malam yang semakin menua. Kenangan begitu renyah bercerita. Riuh tak terkira. Memenuhi seisi rumah hingga ke luar pagar.

“Bagaimana Bapak tahu kalau aku akan datang?”
“bau tanah.”
“bau tanah?”
“manusia itu kan terbuat dari tanah. Dan kamu itu manusia. jadi terbuat dari tanah.”

Aku mengeluarkan gumpalan uang. Menaruhnya di atas meja. Tak sedikitpun raut heran di wajah Bapak. Ia hanya memperlihatkan ekspresi yang biasa saja. Ternyata Bapak tidak berubah. Lalu, Bapak mendorong perlahan gumpalan uang itu kearahku.

“tidak usah. Untuk kamu saja.”
“tapi……”
“kamu lebih membutuhkannya dari pada Bapak.”
“sebenarnya aku juga ingin memberikan Bapak rumah tanah itu, tapi sudah retak tadi.”
“tidak apa-apa. Masih bisa diperbaiki.”
“tapi……”
“sudah. Minum tehnya. Keburu dingin.”

Bapak selalu begitu. Tidak mau mempersoalkan sesuatu hal yang sepeleh. Menganggap semua hal bisa diselesaikan. Namun, saat aku meminum teh itu, ada yang aneh. Bukan rasa hangat yang merasuk ke dalam tubuh. Tapi cangkir yang aku gunakan. Aku memperhatikannya sesaat. Cangkir ini bukan cangkir yang biasa digunakan di rumah ini. Ini terbuat dari tanah liat. Walau bentuknya tidak begitu halus dan rapi. Begitupun dengan cangkir yang digunakan oleh Bapak. Temaram malam yang membuat mataku sedari tadi tidak menyadarinya.

“Bapak sudah menduga, kamu pasti heran.”
“cangkir ini……”
“iya. Itu cangkir terbuat dari tanah liat. Bapak yang buat.”
“Bapak yang membuatnya?”
“iya. Walau tidak sebaik pekerjaaan kamu.”
“untuk apa?”
“sudah lama Bapak menanti saat ini. Duduk bersama anakku menyeduh teh. Dengan cangkir ini. Aku juga ingin merasai kehidupan anakku yang sebenarnya. Dan terwujud malam ini.”

Begitu lama Bapak menantiku meminum teh dengan cangkir yang dibuatnya sendiri. Melepas kerinduannya dan merasai kehidupan anaknya yang berpeluh dengan tanah. Ah Bapak, ingin sekali menuangkan teh ke dalam cangkir ini, menyajikannya untukku.

“Kujes, kamu mesti ingat baik-baik perkataan Bapak malam ini.”
“apa itu Bapak?”
“Nak, manusia itu berasal dari tanah dan akan kembali keasalnya itu lagi; tanah. Tanah itu jika tidak disiram, akan kering. Namun jika disiram secara berlebihan, malah tidak bagus. Tanah yang subur, apapun bisa tumbuh disana. Sebaliknya, tanah yang tidak subur, hanya kerugian yang didapat. Sederhana saja. Bukankah manusia itu lahir di tengah, bukan di atas ataupun di bawah. Siramilah dirimu tiap hari, Nak. Sejukkanlah hatimu.”

Malam yang begitu membuatku bahagia diantara malam-malam sebelumnya. Berbincang dengan Bapak di bawah malam. Kadang aku perhatikan wajahnya begitu menua. Kedua matanya tak sebening dahulu. Tangannya begitu kasar karena memeras keringat tiap hari. Aku baru tahu Bapak sudah setua ini. Dan ternyata, di bawah gerimis malam ini adalah terakhir aku bersama Bapak.



Makassar, 26 Agustus 2010
Ernawati Rasyid

Ernawati Rasyid Lahir di Pinrang, 1987. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Makassar. Aktif dalam komunitas Kantong Sastra Kalimantan. Cerpenis Terbaik Sastra Award 2009 HMPS SASINDO. Karyanya dimuat dalam antologi cerpen Panggil Aku Diana, Antologi Pohon Kopi 1 dan Antologi Pohon Kopi 2.

Komentar

  1. Kunci keberhasilan adalah menanamkan kebiasaan sepanjang hidup Anda untuk melakukan hal - hal yang Anda takuti.
    tetap semangat tinggi untuk jalani hari ini ya gan ! ditunggu kunjungannya :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Silakan berkomentar tentang kami sesuka anda. Kami terima apapun dari anda termasuk kepahitan kata-kata anda. terima kasih!