Malam Dari Atas Tower

Entah sudah berapa lama aku duduk meringkuk di sini. Sudah ada dua atau tiga jam ini. Atau bahkan mungkin lebih. Aku selalu seperti memiliki waktuku sendiri. Waktu yang seakan berputar lebih cepat daripada yang ada di bawah sana. Sekedar untuk tidak mengatakan bahwa waktuku di sini berhenti karena akan terdengar terlalu hiperbolis.

Bukannya mengada-ada, tak jarang aku baru turun setelah mendengar kokok ayam jantan yang pertama, padahal aku sudah merangkak naik selepas apel malam. Tentu saja setelah masuk kamar, mengganti baju seragam yang rasanya sudah begitu lengket dengan kulit, mengagumi perut six pack-ku di kaca sebentar, mendengarkan sambil lalu gerutuan rutin Dadang teman sekamarku itu, untuk kemudian membuka jendela dan mengendap-endap keluar.

Jangan bermimpi keluar asrama di hari yang sudah begini malam melalui jalan yang sewajarnya. Setelah terompet tanda jam malam dibunyikan pukul 23.00, segala kegiatan memang dilarang. Kecuali tidur, mencoba tidur, ataupun berpura-pura tidur. Sedangkan saat aku melompat jendela, pukul 23.00 biasanya hanya tinggal beberapa menit lagi.

Petugas piket asrama di depan pintu utama pasti sudah akan mendelik marah, melarang, bahkan sebelum mendengar permintaan ijin untuk keluar asrama barang sebentar. Apalagi jika hanya untuk sekedar berlama-lama duduk di atas tower seperti ini. Aku bisa dipikirnya gila sehingga perlu menghadap Bu Sofie untuk duduk berjam-jam di ruang konseling yang justru bisa membuat gila karena saking panasnya itu.

Bisa kubayangkan apa yang akan terjadi jika aku sampai tertangkap basah sedang keluar jendela, berjalan mengendap-endap di semak-semak, merangkak menaiki kerangka besi tower, duduk di atas tower, menuruni kerangka tower, mengendap-endap di semak-semak menuju asrama, ataupun saat masuk kembali melalui jendela kamar. Memang tulangku tidak akan sampai patah, badanku juga tidak mungkin akan lebam-lebam, suatu hal yang sangat mungkin terjadi jika aku bersekolah di sini setidaknya tiga atau empat tahun yang lalu.

Paling banter pipiku akan merah karena tamparan, atau kulitku lecet-lecet karena disuruh merayap oleh petugas piket. Lalu esok paginya aku akan disuruh berdiri menghormat bendera sampai keringat yang bercucuran segede-gede jagung. Kalau tidak lari keliling lapangan setelah apel pagi sampai nafas ngos-ngosan, hampir pingsan. Atau push up, jalan jongkok , merayap, sambil dilihat oleh banyak orang yang menertawakan kekonyolan ini.

Enteng.

Paling pembinaan fisik itu saja. Apalagi aku kan sekarang sudah tingkat dua, senior, siapa juga yang berani mengusik. Yunior hanya bisa melihat, suka-suka senior mau berbuat apa. Pasal setan sedikit banyak masih berlaku di sini, sekarang ini. Pasal satu, senior tidak pernah salah. Pasal dua, jika senior salah lihat pasal satu.

Aman, kan.

Lagi pula, belum pernah kudengar seorang Taruna dikeluarkan hanya gara-gara kesukaannya duduk di atas tower air malam-malam.

Resiko sekecil itu benar-benar tak sebanding dengan malam yang selalu terlihat begitu istimewa di sini.

Lihat bintangnya, langit hitamnya.

Rasai hembusan anginnya.

Dengarkan suara-suara binatang malamnya.

Belum lagi serpihan-serpihan kehidupannya.

Apalagi manik-manik cerita yang bermuara pada asrama putri di sebelah mushola.

Saat sedang berada di atas tower seperti ini, aku suka berangan-angan menikmati silluet Astuti yang terlukis di balik tirai jendelanya. Kamar nomor 14. Lantai bawah, paling ujung belakang. Silluetnya yang sedang duduk di meja belajarnya, entah untuk belajar apa. Atau mungkin sedang melamun. Melamunkan aku? Asal jangan Kak Damar, alumni yang tampan nan cemerlang otaknya, yang setiap kali menjadi asisten praktikum selalu dicuri pandang oleh Astutiku itu.

Dengan sedikit efek dramatisasi, dan agak banyak halusinasi, lalu akan kugambar dengan jari telunjukku, tepian silluet juwita pujaan hatiku itu. Menyusur mulai dari belakang punggungnya, naik pada kepalanya yang sedikit menunduk, berhenti sebentar pada hidungnya yang membuatku kedanan. Hidung yang selalu ingin kulumat, yang selalu mengingatkanku pada es krim cone yang dingin, lembut, manis, nikmat, menyehatkan, tinggi kalsium ….

Hidung yang sebenarnya masih agak jauh dari mancung.

Dari hidung, turun ke mulut mungilnya, yang selalu mencibir saat menangkap mataku sedang terpaku pada wajahnya. Lalu jari telunjukku akan ke dagunya. Dada. Bahkan benjolan dadanya pun, ukuran 34 kurasa, masih kurang menarik bagiku jika dibandingkan dengan hidungnya itu. Pernah kubaca, aku lupa di mana dan dalam kajian apa, hidung adalah lambang phallus. Aku tidak tahu apakah ini pertanda ketidaknormalanku karena telah menyukainya, bagian terindah dari tubuh Astuti itu.

Sampai sekarang pun aku belum juga berkesempatan menanyakan ini pada Bu Sofie.

Sejak pertama melihatnya kepayahan dengan pakaian doreng, sepatu PDL kegedean, dan ransel tentara berisi pasir di punggungnya, aku sudah jatuh cinta. Hidungnya yang basah oleh keringat terlihat sangat indah. Seperti berlian yang berkilauan. Bersinar.Kinclong. Gadis itu seketika membuatku berhenti mengutuki Bapak yang telah memaksaku mengubur mimpi untuk mempelajari bahasa Perancis yang romantis itu.

Mau jadi apa besok setelah lulus. Paling-paling menganggur. Carinya itu yang pasti-pasti sajalah. Sekolah yang pasti lulus, pasti jadi Pegawai Negeri. Sekolahnya cepat, dua tahun selesai. Bayarannya murah. Pakai seragam, gagah.

Begitu kata Bapak.

Bapak sudah masukan uang sepuluh juta. Tes masuknya hanya formalitas saja.

Saking begitu khawatirnya dengan masa depanku, Bapak rupanya menjadi lupa kalau anaknya ini selalu menjadi yang terpandai di kelasnya. Tanpa harus merasa sombong, dengan menutup mata pun sebenarnya aku bisa mengerjakan soal-soal tes masuk itu dengan cukup mudah.

Apa pun itu, perempuan cantik itu yang membuatku menyadari, memang benar akan selalu ada hikmah di balik bencana.

Sayangnya, hanya gelap di kamarnya kini.

Lampunya tidak menyala. Sehingga aku pun menjadi sulit berhalusinasi ada siluetnya tertera di jendela kamarnya.

Astuti sudah tidak lagi berada di situ.

Menyadarinya, kurasakan dadaku berat. Tidak rela dengan kenyataan ini.

….

Ya sudahlah. Nikmati saja serpihan-serpihan kehidupan yang ada, yang tersisa setelah Astuti.

Kuedarkan pandanganku. Malam sudah lelap. Hanya satu dua kendaraan lewat di jalan raya depan gerbang utama. Gerbang yang membatasi kami dengan dunia luar, mengangkangi kebebasan kami. Yang hanya terbuka buat kami setiap Rabu sore sampai pukul 21.00 dan Sabtu sore sampai Minggu pukul 21.00. Kecuali kalau kami bisa mengakali petugas dengan alasan ini itu sehingga kami bisa pergi diluar hari yang telah ditentukan.

Gerbang yang mendongak angkuh. Untuk bilang: hanya yang terpilih yang bisa masuk.

Salah satunya aku, dengan uang sepuluh juta Bapak. Oleh ambisi Bapak.

Dua orang satpam duduk mengobrol di pos jaga. Televisi menyala. Dua anjing bergelung di bawah tiang bendera di lapangan upacara. Tidur, tidak mengobrol. Terakhir kali tiang bendera itu menjadi saksi bagi seorang yuniorku yang malam-malam harus berguling-guling dari tepi lapangan, tanpa putus, sampai menyentuh tiang bendera karena melarikan diri ke dalam kampus saat berkelahi dengan preman stasiun. Jika hanya berkelahi, tapi mau dengan gagah berani menghadapi preman stasiun itu walaupun kalah sekali pun, tanpa melarikan diri ke dalam kampus, hukumannya hanya akan merayap separuh lapangan. Kampus ini tidak mendidik Taruna pengecut, demikian kata petugas piket yang memberi sanksi sambil berkacak pinggang tepat di samping tiang bendera. Jadi, setengah lapangan adalah untuk kepengecutannya.

Rumput-rumput di lapangan upacara itu sudah begitu akrab dengan sol sepatu kami. Mereka saling menyapa, menanyakan kabar, kadang bergosip, ketika saling bertemu saat apel. Tiga kali dalam sehari, empat kali jika senam pagi ikut dihitung. Belum lagi jika ada latihan drumband, berolah raga bersama, ataupun ada hal khusus lainnya. Juga entah sudah berapa kali putaran lapangan ini kami kelilingi. Mungkin tapak kaki kami sampai sudah tercetak pada jalan aspal di sekeliling lingkar luarnya.

Tidak hanya jalan di sekitar lapangan, tapi sepanjang jalan di dalam kampus ini. Ratusan, ribuan, jutaan kali kaki-kaki kami menjejak jalanan beraspalnya. Dalam berbagai macam gaya. Dari lari, berbaris, sampai dengan jalan sambil berjongkok, kadangkala setengah jongkok. Walhasil, betis kami besar-besar, karena kaki terlalu akrab dengan tanah. Sepatu juga boros, dua tahun di sini, empat kali aku berganti sepatu. Satu sepatu per semesternya.

Di belakang sana, di antara banyak pohon tua yang besar dan menyeramkan, adalah tempat kami melakukan kegiatan ekstrakurikuler di sore hari. Studio musik, ruang karaoke sekaligus arena billyard, wall climbing, lapangan voli, lapangan sepak bola, lapangan basket, bahkan ada juga lapangan futsal di gedung olah raganya. Kurang apa, kata Direktur kami, kampus sudah menyediakan fasilitas lengkap untuk menghibur Taruna. Tidak ada alasan untuk mati bosan di sini.

Memang tidak ada yang mati bosan di sini, karena apa yang terjadi dengan mencuri waktu di balik pepohonan itu, di ruang kelas saat pelajaran kosong, di kamar mandi, di kamar 27, di pojok-pojok tergelap kampus. Penyakit senioritas yang masih saja cukup menyenangkan untuk diwariskan. Tentu saja dengan kadar yang semakin ringan.

….

Dan akhirnya aku pun hanya bisa tertawa. Meski getir sehingga terdengar sumbang. Memang benar, kehidupan di sini baru terasa indah saat diceritakan sebagai kenangan.

Indah. Memang indah.

Apalagi hidung Astutiku itu yang terindah itu.

….

Sedari tadi semilir angin malam mengenai kulit tubuhku yang terbuka. Dingin bahkan menembus kaos oblongku yang tipis. Tidak sampai membuatku mengigil, sehingga tak jua membuatku bergeming turun. Kembali pada kehidupan nyata.

Tidak perlu buru-buru. Aku masih betah di sini. Apalagi besok aku sudah harus keluar kampus. Semua urusan sudah selesai. Asrama juga sudah sepi, tinggal aku saja yang masih belum pergi.

Aku sudah harus pulang. Lusa sudah harus masuk kerja. Sekali lagi Bapak sudah mempersiapkan semuanya buatku. Bahkan jauh hari sebelum aku wisuda, beliau “sudah menyelesaikan urusannya dengan Bapak Bupati”, sehingga memungkinkan aku bisa langsung bekerja dalam jangka waktu kurang dari seminggu setelah aku memakai seragam kebesaran dan disalami Pak Menteri sebagai lulusan terbaik di bawah teriknya matahari lapangan Monas. “Urusan dengan Bapak Bupati” yang bahkan sudah dimulai sebelum aku mengambil formulir pendaftaran untuk masuk di sini dua tahun yang lalu. Untung saja aku sekolah hanya dua tahun, Bupatinya belum ganti, mati, atau ditangkap polisi karena korupsi.

….

Sialan.

Hanya dari atas sini Bapak tidak terlihat. Hanya hidung Astuti yang indah.
****

Naomi SK
16 Maret 2010: cerita untuk Sang Pemanjat Tower


Naomi SK biasa menggunakan nama pena Biru Langit tinggal di Jl. Semeru No. 3 Tegal

Komentar

  1. saya pernah merasakan tinggal di asrama, kurang lebih yaa seperti yang diceritakan diatas, bedanya, bapak saya tidak "memasukan uang sepuluh juta", hanya cukup untuk ongkos bolak-balik jakarta-kampung untuk mengikuti tes masuknya.

    tapi memang, duduk di atas tower air malam2 itu menenangkan, bebas dan nyaman.. :)

    BalasHapus
  2. Setiap pemanjat tower memang memiliki cerita mereka masing2 ... :))

    BalasHapus

Posting Komentar

Silakan berkomentar tentang kami sesuka anda. Kami terima apapun dari anda termasuk kepahitan kata-kata anda. terima kasih!